Scroll untuk baca artikel
Sastra

ARSIR CINTAKU

2
×

ARSIR CINTAKU

Sebarkan artikel ini

Aku hanya arsir. yang tergurat dari ribuan gagasan. dari tiap garis yang kau hadirkan, coret moret itu terkumpar dalam ayat-ayat takwaku

aku hanya segaris lukisan, tak ada warna dari jutaan asmara. hanya kerinduan pada wajah-Mu yang sulit kucumbu

maka hanya segores motif. yang Kau lukis dari zaman sebelum menjadi zaman. karena dari tiap arsir yang Kau gores ke pada sehelai permintaanku, hanya garis kelam memenuhi sudut ruang antara Kau dan aku

Inilah kertas. Kau lengkapi setegar Alif. karena aku tak hanya garis yang mendominasi cintaku dalam coretan makna-Mu. namun di riap celah ruang, mengajarkan aku untuk lebur sebagai lukisan tak bertitik koma

akulah arsir, yang Kau coret sebagai bentuk. dalam gurat garis itu, Kau setarakan dengan sejarah tanpa batasan cinta

maka dari gars-garis hitam yang membentuk kalimat, wajah pada lukisan yang Kau ajarkan sebagai kitab, menjadi arsir taman cintaku

maka arsir yang berkejaran dengan wajah potret pada lukisan itu, menjadi cerita tentang potlot hitam yang belum dirancut

dari keterbatasan jalan yang tergurat pada lukisan itu, tiap garis memanjang ke ruang estetika

inilah arsir. yang kau corat-coret sebagai pesan. ketika kata-kata tak lagi bersuara, maka lukisan itu menyimpan garis-garis ide di sudut tampilanmu

kepada siapa lukisan tak selesai ini kau corat-coret kembali setelah kulit buku itu lepas dari putiknya?

inilah arsir. yang kau lihat dari berbagai sudut. lalu ide-ide yang menumpuk, menanti di pintu ruang tempat kau nyatakan cinta

tiga bulan garis-garismu berlalu. dengan gincu dan parfum hitam pada tiap garis, begitu indah putik bungamu berlalu

ketika garis lukisanmu tiba di tikungan, bentukmu gemulai sebagai gambar. lalu kau cium ujung jariku; “inilah rona lukisan itu. karena segalanya harum sebagai arsir cintaku.”

Tirta Bening, 16 Februari 2020
anto narasoma

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *