Aku hanya arsir. yang tergurat dari ribuan gagasan. dari tiap garis yang kau hadirkan, coret moret itu terkumpar dalam ayat-ayat takwaku
aku hanya segaris lukisan, tak ada warna dari jutaan asmara. hanya kerinduan pada wajah-Mu yang sulit kucumbu
maka hanya segores motif. yang Kau lukis dari zaman sebelum menjadi zaman. karena dari tiap arsir yang Kau gores ke pada sehelai permintaanku, hanya garis kelam memenuhi sudut ruang antara Kau dan aku
Inilah kertas. Kau lengkapi setegar Alif. karena aku tak hanya garis yang mendominasi cintaku dalam coretan makna-Mu. namun di riap celah ruang, mengajarkan aku untuk lebur sebagai lukisan tak bertitik koma
akulah arsir, yang Kau coret sebagai bentuk. dalam gurat garis itu, Kau setarakan dengan sejarah tanpa batasan cinta
maka dari gars-garis hitam yang membentuk kalimat, wajah pada lukisan yang Kau ajarkan sebagai kitab, menjadi arsir taman cintaku
maka arsir yang berkejaran dengan wajah potret pada lukisan itu, menjadi cerita tentang potlot hitam yang belum dirancut
dari keterbatasan jalan yang tergurat pada lukisan itu, tiap garis memanjang ke ruang estetika
inilah arsir. yang kau corat-coret sebagai pesan. ketika kata-kata tak lagi bersuara, maka lukisan itu menyimpan garis-garis ide di sudut tampilanmu
kepada siapa lukisan tak selesai ini kau corat-coret kembali setelah kulit buku itu lepas dari putiknya?
inilah arsir. yang kau lihat dari berbagai sudut. lalu ide-ide yang menumpuk, menanti di pintu ruang tempat kau nyatakan cinta
tiga bulan garis-garismu berlalu. dengan gincu dan parfum hitam pada tiap garis, begitu indah putik bungamu berlalu
ketika garis lukisanmu tiba di tikungan, bentukmu gemulai sebagai gambar. lalu kau cium ujung jariku; “inilah rona lukisan itu. karena segalanya harum sebagai arsir cintaku.”
Tirta Bening, 16 Februari 2020
anto narasoma