Di sebuah lokasi yang luas di Tanjung Enim, gemuruh suara alat tenun bergema dari Sentra Industri Bukit Asam (SIBA) Songket. Para ibu rumah tangga yang tergabung dalam komunitas ini tengah sibuk menenun Songket Behembang Lingga, kain tradisional dengan motif khas lokal yang kini memikat perhatian karena inovasi ramah lingkungannya.
BERITAPRESS, TANJUNG ENIM | Yenni Puspitasari, Ketua SIBA Songket, menuturkan bahwa pengrajin di SIBA telah melakukan terobosan besar dengan mengganti pewarna sintetis dengan bahan alami.
Langkah ini mendapat dukungan penuh dari PT Bukit Asam Tbk (PTBA), yang sejak 2016 membina SIBA Songket agar terus berkembang. Dukungan ini mencakup pemberian alat produksi, pelatihan, hingga bantuan pemasaran. “Kami mendapat berbagai bantuan dari Bukit Asam, termasuk pelatihan pewarnaan alami. Hasilnya, pendapatan kami meningkat,” tambah Yenni.
Di Desa Lingga, tradisi tenun songket bukan sekadar kerajinan biasa. Di balik setiap helai kain yang dihasilkan, terdapat cerita penuh dedikasi dari para ibu rumah tangga yang dengan tekun melestarikan warisan leluhur mereka. Salah satu tokoh penggerak tradisi ini adalah Yenni Puspitasari, Ketua Sentra Industri Bukit Asam (SIBA) Songket, yang telah memimpin komunitas ini sejak 2016.
“Proses pembuatan songket ini dimulai dari bahan yang unik, yaitu kulit jengkol,” ujar Puspitasari. Dalam proses yang memakan waktu dan ketelitian ini, empat kilogram kulit jengkol terlebih dahulu ditumbuk dan direbus selama dua jam hingga menghasilkan cairan pewarna alami. “Setelah cairan pewarnanya siap, benang putih dicelupkan ke dalam air rebusan kulit jengkol sebanyak dua kali. Hasilnya, warna alami pun terbentuk,” tambahnya.
Setelah pewarnaan, benang-benang tersebut diangin-anginkan hingga kering secara alami. Langkah ini penting untuk menjaga kualitas warna agar tetap tahan lama. Setelah proses pewarnaan selesai, barulah benang tersebut digunakan untuk menenun kain songket dengan motif khas Desa Lingga.
Motif-motif yang dituangkan dalam kain songket ini bukan sembarang motif. “Ciri khas Desa Lingga dituangkan dalam tumpal kain, seperti motif bujur, keris, dan gong. Ini mengingatkan kami akan budaya dan sejarah desa,” jelas Yenni dengan penuh kebanggaan.
Puspitasari mengenang awal mula berdirinya komunitas pengrajin songket ini saat ia masih menjabat sebagai Kepala Desa Lingga. Keinginannya untuk memberdayakan ibu-ibu rumah tangga di desanya menjadi pemicu berdirinya sentra industri ini. “Saya senang melihat ibu-ibu bekerja sama melestarikan adat desa dan meningkatkan penghasilan mereka,” ujarnya.
Namun, proses pembuatan satu kain songket memerlukan waktu yang tidak sebentar. “Kalau sudah mahir, satu pengrajin bisa menyelesaikan dua kain dalam sebulan. Jika sedang tidak ada pekerjaan lain, bahkan bisa tiga kain,” ungkapnya.
Perhitungan Harga dan Penghasilan Pengrajin

Untuk satu kain songket, harga jualnya mencapai lima juta rupiah, sementara kain sintetis dihargai tiga juta rupiah. Penghasilan para pengrajin dihitung berdasarkan upah per kain yang diselesaikan, yaitu satu juta rupiah per kain.
“Setiap kali kain selesai, kami langsung membayar upah pengrajin. Namun, penghasilan bagi pengurus komunitas biasanya dibagikan setahun sekali, setelah pendapatan dari penjualan sepanjang tahun dihitung dan dikurangi biaya operasional,” jelas Yenni.
Dalam setahun, komunitas ini berhasil mencatat omset hingga 228 juta rupiah. Namun, angka tersebut masih berupa pendapatan kotor. “Dari jumlah itu, kami belikan benang untuk kebutuhan produksi selama setahun. Sekali belanja benang bisa menghabiskan hingga 50 juta rupiah. Sisanya baru kami bagikan kepada seluruh anggota,” bebernya.
Yenni Puspitasari berharap, dengan terus melestarikan tradisi tenun songket ini, masyarakat Desa Lingga dapat menjaga identitas budaya mereka sekaligus meningkatkan kesejahteraan ekonomi. Baginya, setiap helaian kain songket yang terjual adalah bukti nyata bahwa warisan budaya lokal masih memiliki tempat di hati masyarakat.
“Ini bukan sekadar kain, tetapi simbol perjuangan dan cinta kami terhadap budaya. Saya ingin Desa Lingga dikenal melalui songketnya yang khas dan bernilai tinggi,” pungkasnya.
Memperluas Pasar, Menggenggam Penghargaan
Langkah SIBA Songket dalam memperluas jangkauan pasarnya tidak main-main. Mereka kini memanfaatkan platform digital Pasar Digital UMKM (PaDi UMKM) serta aktif berpartisipasi dalam berbagai pameran nasional seperti Bazar UMKM untuk Indonesia di Jakarta dan Pameran Bangga Buatan Indonesia di Palu.
Songket yang Mengangkat Kearifan Lokal
Songket Behembang Lingge memiliki motif yang sarat akan makna budaya lokal, seperti kujur, keris, gung, dan rosella. Setiap motif memiliki cerita yang mencerminkan kearifan lokal masyarakat Tanjung Enim.
Keunikan inilah yang membuat Songket Behembang Lingge semakin diminati, baik oleh masyarakat lokal maupun wisatawan.
Menenun Masa Depan yang Berkelanjutan
Di tengah tantangan zaman, SIBA Songket terus menenun masa depan yang lebih cerah. Dengan memadukan kearifan lokal dan inovasi ramah lingkungan, mereka membuktikan bahwa warisan budaya dapat terus hidup dan relevan di era modern.
“Kami ingin songket ini tidak hanya indah, tetapi juga bermanfaat untuk lingkungan dan masyarakat. Dengan pewarna alami dan kemasan ramah lingkungan, kami berusaha menciptakan produk yang berkelanjutan,” tutup Yenni.
Hari Songket Nasional yang diperingati setiap 7 September menjadi momen refleksi akan pentingnya melestarikan tradisi. SIBA Songket, dengan dukungan PTBA, menjadi salah satu bukti nyata bahwa tradisi lokal dapat bertransformasi menjadi produk yang tidak hanya membanggakan, tetapi juga ramah lingkungan dan bernilai tinggi di pasar modern.