Scroll untuk baca artikel
Sastra

MENAKAR KUALITAS DIRI SENDIRI

2
×

MENAKAR KUALITAS DIRI SENDIRI

Sebarkan artikel ini

Oleh Anto Narasoma

DALAM kondisi sulit menghadapi persoalan hidup sehari-hari, seseorang terkadang lepas kendali. Ia justru menjauh dari Allah SWT, sehingga akhirnya tercemplung ke dalam perbuatan melanggar hukum yang menyengsarakan diri sendiri dan orang lain

Yang menjadi pertanyaan kita adalah, apakah dengan cara melakukan hal-hal di luar nalar kemanusiaan itu kita merasa lepas dari beban kesulitan hidup?

Ini pertanyaan klise yang harus dijawab lewat sikap dan perilaku manusia dalam kadar kemanuisiaan sejati.

Sebab sejak kita dilahirkan ke dunia, tantangan paling berat dalam kehidupan ini adalah diri sendiri. Sebab sebagai manusia yang tak berdaya apa-apa menghadapi persoalan hidup sendiri itu, kita hanya mampu menangis (sebagai bayi). Apa yang kita harapkan? Menetek atau menyusu dengan botol plastik yang disertai dot. Inilah fakta kehidupan kita.

Lantas apa yang harus kita banggakan dengan segala kekurangan yang ada? Lalu, ketika kita dewasa dan sudah bekerja sebagai orang sukses (tak perlu disebut memakai perhiasan atau naik mobil mewah), kita harus membusungkan dada sebagai sikap angkuh dan sombong?

Seorang penyair bijak dari Afghanistan, *Muhammad Hafez Shirazi*, mengatakan bahwa segala keberhasilan yang dicapai tak akan membuat seseorang menjadi rendah hati.

Kecuali ia bisa melihat ke dirinya sendiri sebagai makhluk yang tak berdaya dan sangat membutuhkan jasa (bantuan) orang lain. Apalagi ketika berjalan ke sana-sini sebagai makhluk yang wajib beraktivitas, yang kita bawa di dalam perut adalah air kencing dan ampas makanan yang berbau busuk.

Lalu, apa yang harus kita banggakan dengan dua unsur yang membuat suasana toilet menjadi tidak sedap itu kita bawa ke sana-sini ?

Karena itu kita perlu belajar memahami diri sendiri. Sebab musuh paling besar yang kita hadapi sehari-hari adalah watak kita sendiri.

Seperti dikemukakan penyair sufi Jalaludin Rumi ialah, ketika menghadapi berbagai kesulitan hidup, kita harus bermuhasabah kepada Allah SWT, dengan cara bersabar diri, salat, dan beristiqfar.

Bersabar diri itu akan menyejukkan hati dan bisa membuang jauh-jauh suasana emosi yang selalu membuat sikap kita akan terpancing untuk melakukan perbuatan buruk yang merugikan diri sendiri dan orang lain.

Jika kita berada dalam kondisi sesulit apapun, sabar adalah landasan utama agar kita berada pada posisi sadar dalam frekuensi keimanan yang penuh kepada Allah.

Namun memang, tidak semua orang bisa menjaga kesabaran diri dalam menghadapi berbagai tingkat kesulitan hidup. Selain harus bijak, jiwa kita pun membutuhkan kedewasaan sikap.

Tidak salah andaikan penyair sufi dari Afgahanistan Muhammad Hafez Shirazi itu menyatakan ada tiga unsur yang perlu diterapkan ketika kita sedang dalam kesusahan.

Pertama, sabar. Kedua salat, dan ketiga selalu beristiqfar sebanyak-banyaknya. Mengapa begitu? Yah, untuk menguatkan nilai kesabaran di dalam diri manusia itu harus disertai aktivitas religi, yakni salat.

Sudah kita rasakan bahwa aroma salat itu bisa membangkitkan aura kemanusiaan kita untuk selalu dekat kepada Allah SWT. Lebih dekat kepada-Nya, maka kita akan selalu menyadari tentang nilai-nilai kesabaran yang selalu menemani ketika kita berada dalam kesulitan.

Tak kalah pentingnya adalah beristiqfar sebanyak-nanyaknya. Dengan melafalkan istiqfar, ada kekuatan batin untuk selalu mengajarkan agar tetap ada usaha sebagai fakta kemanusiaan yang dianjurkan untuk bekerja dan berbuat maksimal bagi keuntungan finansial kita.

Terkait rezeki finansial, apakah kita harus mengejar itu untuk kesenangan duniawi kita? Seperti dalam puisi ini..

_berkali-kali keningku menyentuh dasar hati-Mu_,
_ketika sejumlah daya ucap mencairkan kesabaran_

_sebab kata hati hanya pertahanan yang rapuh tanpa dibalut sejumlah doa dalam tiap kali salat_

_lalu kekuatan apa agar bintik-bintik kesadaran menjelma sebagai jiwa-jiwa yang tunduk dalam rangkaian istiqfar kepada-Mu ?_

(puisi *Sabar, Salat, dan Istiqfar* dalam antologi *Mengarungi Diri Sendiri*, April 1997)

Dalam iman Islam, rezeki itu tak perlu dikejar dan dirisaukan. Sebab tiap manusia sudah ada bagiannya masing-masing. Artinya rezeki siapa pun tak akan tertukar kepada siapa pun.

Karena itu rezeki dan ajal tak perlu dirisaukan. Sebab eksistensinya ada di genggaman Allah SWT. Sepanjang kita selalu berdoa dan berusaha, rezeki akan selalu hadir menjumpai kita. Begitu pun ajal yang “ditakuti” manusia.

Soal besar kecilnya jumlah rezeki yang kita peroleh, itu tergantung pada porsi dan profesi pekerjaan yang kita lakukan.

Dalam persoalan hidup, perilaku dan kedewasaan sikap kita sangat menentukan kualitas diri setelah lebur ke dalam ruang-ruang religiusitas.

Sebab ketika menghadap Sang Mahabijak dalam rukun salat kita, diri dan kemanusiaan ini begitu kebur ke dalam nilai kehambaan kapada Allah SWT.

Konsentrasi kita, sepenuhnya diserahkan ke dalam ruas-ruas penyerahan diri secara mendalam. Karena itu hakikat perasaan dan jiwa kemanusiaan kita seolah “hilang” ke dalam konsentrasi kita saat berhadapan kepada Allah.

Makanya, setelah fase salat selesai dalam baris-baris rakaat, “kesadaran” kita pulih seperti sediakala, dengan mengucapkan lafal istiqfar (Astagfirullah).

Dengan cara bermuhasabah (salat) kepada Allah SWT, hakikat kesombongan, keangkuhan, dan merasa hebat sendiri dibanding orang lain, secara perlahan akan kita singkirkan dalam perilaku hidup sehari-hari.

*Palembang*
1 April 2023

(Ilustrasi gambar Denny JA)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *