BEGITU matahari nongol di atas Palembang, Pasar KM 5 udah lebih rame dari mal pas gajian. Orang-orang heboh, pedagang teriak, dan di antara itu semua muncul Ratu Dewa, Wali Kota yang datang bukan buat belanja, tapi buat ngecek harga. Bukan juga mau syuting iklan minyak goreng, tapi mau memastikan rakyatnya masih bisa masak tanpa ngelus dada tiap lihat etalase sembako.
Pasar itu kan tempat paling jujur di dunia, di situlah jadi ketahuan, siapa yang bener-bener kerja, siapa yang cuma gaya. Kata Walikota, harga-harga masih aman, stok beras cukup sampai tiga bulan ke depan. Tapi dasar pemimpin yang nggak mau asal laporan, beliau turun langsung, bukan cuma pakai mic dan podium, tapi juga sepatu yang rela kena lumpur.
Di pasar, semua jadi setara. Nggak ada pejabat, nggak ada rakyat, yang ada cuma aroma cabai, suara teriakan pedagang, dan harapan biar harga nggak naik sebelum tanggal tua.
Kadang di situ juga bisa ketahuan, siapa pemimpin yang peduli itu bukan yang paling banyak janji, tapi yang mau ikut cium bau bawang goreng jam tujuh pagi di tengah pedagang dan pembeli [rakyatnya] dengan aroma bau khas pasar..
Dari hasil pantauan kemarin, harga-harga relatif masih stabil, tapi ya… tetap aja ada drama kecil di antara tumpukan sayur mayur.
Katanya cabai malah turun. Ini ajaib! Biasanya cabai itu sensitif kayak perasaan mantan, sedikit disentuh, langsung meledak. Tapi kali ini adem ayem…. sementara wortel yang biasanya kalem, malah “ngegas” naik. Mungkin karena lagi musim diet dadakan, jadi banyak yang cari wortel buat jus sehat.
Ayam? masih stabil, seperti hubungan pasangan yang udah bosan ribut, datar tapi aman.
Dan di situlah seni ekonomi pasar ada yang naik, ada yang turun, tapi yang penting dompet tetap bernafas. Karena dalam hidup, harga itu kayak cuaca nggak bisa dikendalikan, cuma bisa diantisipasi.
Pepatah baru dari Pasar KM 5 bilang “Kalau harga naik, jangan panik. Kalau harga turun, jangan panik juga, karena bisa jadi itu jebakan Batman distributor”.
Nah, di sinilah poin menariknya. Pemimpin yang mau turun ke pasar itu berarti spesies langka, bro…. Di Indonesia cuma segelintir yang punya insting “turun tangan sebelum rakyat kebakaran jenggot”.
Kita ingat dulu Jokowi waktu masih Wali Kota Solo. Doyan banget blusukan ke pasar tradisional, ngobrol sama pedagang sayur sambil senyum tipis. Itu bukan pencitraan, tapi cara bikin rakyat merasa dilihat, bukan cuma didata.
Terus ada Ridwan Kamil di Bandung, pernah viral karena nongkrong di warung kopi, dengerin warga ngeluh soal harga kebutuhan pokok.
Kata Kang Emil, “Rakyat kalau udah diajak ngopi, separuh masalahnya hilang”hehehe! Bijak juga, ya…. mungkin karena gorengan mendoan hangat memang lebih ampuh dari seminar ekonomi.
Kita lihat contoh dari luar negeri nyeberang bermil-mil, ada Jacinda Ardern, mantan Perdana Menteri Selandia Baru, coba pikirkan, pemimpin negara, tapi masih sempet bagi-bagi susu dan roti waktu pandemi.
Sederhana, kan.. tapi ngena, karena kadang rakyat nggak butuh kata stabilitas ekonomi, mereka cuma butuh roti dan tatapan mata yang bilang, “Kami peduli”.
Rasa hadir..
Oleh sebab itu, kunjungan Ratu Dewa ini sebenarnya bukan sekadar soal harga cabai atau stok beras. Ini tentang rasa hadir seorang pemimpin di tengah rakyatnya. Karena sering kali, yang bikin rakyat gelisah bukan harga yang naik, tapi rasa ditinggal.
Seperti kata pepatah Palembang versi upgrade “Harga boleh naik, tapi hati pemimpin jangan ikut melambung”. balon kali….hehehe!
Pemimpin yang baik itu kayak tukang sayur langganan, setidaknya datang tepat waktu, ngerti kebutuhan, dan nggak pernah bohongin timbangan.
Dan buat warga Palembang, liat Wali Kotanya mau turun ke pasar itu udah cukup bikin lega. Setidaknya ada yang ngecek langsung sebelum emak-emak mulai “demo” di grup WhatsApp RT.
Mungkin sebenarnya pasar itu tempat paling ramai tapi paling sabar. Di sana ada pelajaran ekonomi, sosial, dan spiritual sekaligus.
Buktinya mau belajar tentang kesabaran?, lihatlah pedagang nunggu pembeli dari subuh. Mau belajar logika bisnis? Tawar menawar lebih rumit dari debat capres. Mau belajar ikhlas? Tanyalah pedagang yang dagang seharian tapi cuma laku dua kilo.
Oleh karena itu, hidup itu sebenarnya kayak pasar yaitu rame, riuh, kadang capek, tapi selalu ada yang bisa dibawa pulang. Entah rezeki, entah pelajaran.
Jadi, kesimpulannya kehadiran Ratu Dewa di Pasar KM 5 bukan cuma jadi berita, tapi juga pengingat pemimpin yang mau turun ke pasar, berarti mau menyapa realitas, bukan cuma baca laporan.
Karena kalau pemimpin berani kotor demi rakyat, maka rakyat pun berani sabar demi negaranya.
Dan kalau pasar udah tenang, harga stabil, dan emak-emak bisa belanja sambil senyum berarti pemerintahan berjalan di jalur yang benar.
Di dunia yang makin mahal dari harga beras sampai harga perasaan, kita butuh lebih banyak pemimpin yang berani blusukan, bukan cuma berani konferensi pers. Karena ujung-ujungnya, yang bikin rakyat kuat bukan angka di data statistik, tapi rasa percaya bahwa mereka nggak sendirian di tengah hiruk pikuk pasar kehidupan.[***]

























