Scroll untuk baca artikel
Ngakak

Tata Kelola AI di Indonesia: Etis, Aman atau Sekadar Janji Manis?

×

Tata Kelola AI di Indonesia: Etis, Aman atau Sekadar Janji Manis?

Sebarkan artikel ini
foto : dok.komdogi

– Etika dan Kepercayaan Jadi Pondasi Tata Kelola AI di Indonesia

DI era digital yang makin canggih ini, kecerdasan buatan alias Artificial Intelligence (AI) sudah kayak selebgram baru, viral, banyak penggemar, tapi juga rawan gosip. Semua orang ngomongin AI, dari yang paham algoritma sampai yang cuma tahu AI itu mirip “teman curhat virtual”. Nah, pertanyaannya, apakah AI di Indonesia benar-benar aman, etis, dan bisa dipercaya? Atau jangan-jangan cuma manis di bibir, pahit di belakang layar?

Wakil Menteri Komunikasi dan Digital, Nezar Patria, belum lama ini dalam rilis resmi dilaman komdigi melempar jurus pamungkas soal masa depan AI di Indonesia.

Katanya, teknologi ini harus dibangun di atas kepercayaan, etika, dan tanggung jawab.

Alias jangan sampai AI kita malah jadi “robot tanpa nurani” yang bisa bikin masyarakat geger karena keputusan ngawur.

Dalam Forum Trust by Design, Privacy, Security, and AI Governance for the Future di Jakarta, Nezar menegaskan bahwa prinsip utama AI adalah trust by design.
Artinya, privasi, keamanan, dan etika harus terintegrasi sejak awal pembuatan AI, bukan cuma jadi hiasan kayak garnish di pinggir piring.

Kalau bumbunya nggak dicampur dari awal, hasilnya bisa hambar atau malah bikin perut mulas.

Nezar mengingatkan, AI yang tanpa tata kelola yang kuat bisa bias dan berbahaya. Misalnya, kalau algoritma AI lebih sayang sama satu kelompok tertentu, ya itu udah bukan pintar, tapi pilih kasih digital.

Oleh karena itu, pemerintah dorong para pengembang supaya AI di Indonesia mengutamakan etika dan keadilan.

Selain itu, perlindungan data pribadi juga jadi hal krusial. Jangan sampai data kita dijual murah kayak gorengan di pinggir jalan.
Dengan adanya Undang-Undang Pelindungan Data Pribadi (UU PDP), platform AI wajib patuh pada aturan privasi. Kalau sampai bocor, bisa-bisa masyarakat kehilangan kepercayaan, dan itu lebih mahal dari harga kuota unlimited.

Supaya AI benar-benar bisa dipercaya, mekanisme audit dan transparansi harus jelas. Ibarat warung makan, semua bahan harus kelihatan segar, bukan disembunyiin di dapur.
Nezar menegaskan, AI yang transparan dan aman bakal lebih cepat memenangkan kepercayaan publik  termasuk regulator dan mitra global.
“Perusahaan yang secure by default dan privacy first akan lebih dipercaya,” katanya.

Pepatah bilang, tak kenal maka tak sayang. Nah, kalau pengguna nggak kenal sistem AI yang dipakai, gimana mau sayang?

Pemerintah nggak mau cuma ngomong doang. Dua Peraturan Presiden (Perpres) sedang disiapkan, yaitu Peta Jalan Nasional Pengembangan AI, dan Etika AI Nasional.

Keduanya jadi pondasi untuk menciptakan AI yang etis, aman, dan berdaulat.
Menurut Nezar, dua dokumen ini sudah rampung dan sedang dalam proses harmonisasi di Kementerian Hukum, sebelum masuk ke meja Sekretariat Negara.
Langkah ini dianggap respon cepat terhadap lonjakan pemanfaatan AI di tanah air.

Belum ada undang-undang khusus AI? Tenang, kata Nezar, Perpres ini jadi payung awal yang realistis sambil menunggu regulasi besar yang lebih lengkap.
Ibarat main layangan, sebelum angin besar datang, tali harus kuat dulu.

Pemerintah juga mendorong pengembang AI di Indonesia agar menerapkan standar global ISO/IEC 42001:2023 tentang Sistem Manajemen AI.
Dengan begitu, platform buatan lokal bisa bersaing secara global tapi tetap transparan dan aman.
Karena di dunia digital, reputasi lebih berharga dari sekadar teknologi canggih.

Kalau dipikir-pikir, AI ini kayak anak pintar di kelas. Punya potensi besar, tapi kalau nggak dikasih etika, bisa-bisa dia malah jadi “si pintar yang nyebelin”.
AI boleh lebih cepat dari manusia, tapi akal sehat dan moralitas tetap buatan kita.
Kita yang ngatur, bukan sebaliknya.

Jadi, jangan takut sama AI, takutlah kalau AI-nya dibiarkan tanpa aturan.
Karena tanpa tata kelola yang jelas, AI bisa jadi kayak kambing lepas di ladang data: bebas, tapi bahaya.

Pada akhirnya, masa depan AI di Indonesia bukan cuma soal algoritma atau kecanggihan sistem, tapi soal kepercayaan dan tanggung jawab.
Kalau kita bisa membangun AI yang jujur, aman, dan beretika, masyarakat akan percaya dan dunia pun melirik.

Karena seperti kata pepatah air tenang menghanyutkan, tapi AI tanpa etika bisa menenggelamkan.
Jadi, yuk sama-sama dukung AI yang bukan cuma pintar, tapi juga sopan, transparan, dan bikin hidup lebih gampang bukan bikin kepala panas kayak sinyal Wi-Fi putus nyambung.[***]