Resensi Sastra Puisi Oleh Anto Narasoma
BAGI umat Islam, tadarusan merupakan cara bagaimana untuk mempelajari kandungan isi Alquran, sehingga kita mampu mengucap kata dan memahami makna yang tersirat di dalamnya.
Kata tadarus tak asing di telinga masyarakat muslim. Sebab tadarusan merupakan aktivitas pembelajaran diri untuk mempelajari kandungan isi Alquran.
Selain itu, secara konotatif kita juga akan mampu melihat kelebihan dan banyaknya kekurangan diri sendiri, tatkala kita melakukan tadarausan bersama di masjid.
Membaca puisi bertajuk “Tadarus Diri” karya penyair Riami Malang, saya menilainya ada upaya untuk mempelajari dirinya sendiri.
Usaha dan kerja keras Riami untuk bercermin ke dirinya sendiri terasa begitu kuat dilakukannya. Coba kita perdalam bacaan tentang puisi itu..
Tadarus Diri
Kubaca diri yang lama kutinggalkan, kulupakan
Hingga putih rambut, sebagian tanggal oleh waktu
Kubaca gigi sebagian berlubang
Dari ramadan ke ramadan
Aku hanya mengunyah kepedihan
Lupa mengingat rahman rahim-Mu
Di sudut jendela mata
Kulihat sebening embun menggantung
Jatuh mengingat dosa-dosa
Mengingat kepingan-kepingan luka
Hati bergetar, bibir masih memanggil-Mu
Berteriak ke ulu hati, ke jantung hingga rontok segala kepongan..
————–
Dikotomi semacam puisi itu merupakan upaya pendekatan diri secara hakikat dan metode puitika di dalam ruang-ruang estetik yang mendalam.
Pendekatan kejiwaan yang dilakukan penyair tersebut merupakan pokok masalah yang ia ungkap melalui kedalaman pribadinya secara personal.
Sebab puisi merupakan kaidah ruang paling tepat untuk menjelaskan nilai-nilai kesadaran moral yang dikaitkan dengan pengembangan ide dan peluapan perasaan yang memiliki daya paling kuat.
Karena itu ketika Riami mencoba mengotak-atik jiwanya lewat luapan rasa dan nilai-nilai estetika (puisi), ia justru terjebak ke dalam nilai kekuarangan diri sendiri yang mulai dikikis usia. Coba kita perhatikan dari awal puisi Tadarus Diri…
Kubaca diri yang lama kutinggalkan, kulupakan//Hingga putih rambut, sebagian tanggal oleh waktu// Kubaca gigi sebagian berlubang..
Dari luapan jiwa yang ia ungkap setelah mengerti dirinya sendiri, penyair mulai menyadari bahwa usianya mulai menggerus daya pikat dirinya sendiri.
Padahal selama ini (barangkali) Riami lupa menatap diri sendiri lewat cermin kehidupan sehari-hari. Yang ia perhatikan hanya tugas kehidupan untuk menutupi kebutuhan hidup keluargnya setiap hari.
Kubaca diri yang lama kutinggalkan, kulupakan..
Kondisi ini tentu saja bisa terjadi juga kepada orang lain. Memang puisi merupakan peluapan spontan dari parasaan (feel) yang penuh ide, pengalaman hidup, serta didorong dengan daya nalar untuk menghimpun kata-kata pilihan (diksi).
Pada hakikatnya, banyak manusia hanya mampu mengedepankan kepentingan hidup dan kehidupannya. Ia lupa bahwa kaitan jiwa dan kedalaman dirinya terikat antara dirinya dengan yang menciptakannya (Tuhan).
Apakah metode kehidupan seperti itu merupakan satu kesalahan? Kita tidak bisa memprediksi seperti itu. Sebab ketika kita bangkit dari tidur, setiap manusia akan berhadapan dengan kepentingan hidupnya.
Karena itu ia “lupa” untuk memperhatikan sosok dirinya yang memiliki perjalanan usia. Karena itu di dalam puisi ini Riami menyadari kealpaannya untuk menatap sosok dirinya sendiri seperti ia melihat diri orang lain.
Untuk menjelaskan semua unsur dari dalam dirinya yang telah digerus segala kelemahan (Hingga putih rambut, sebagian tanggal oleh waktu).
Seperti dikemukakan Ralf Waldo Emerson, puisi merupakan peluapan perasaan secara spontan yang digagas lewat kekuatan daya emosi atau rasa (Perjalanan Sastra Indonesia : Penerbit Gunung Jati Jakarta 1983 – Korrie Layun Rampan).
Dari perasaan yang dilandasi daya (kekuatan imajinasi) itulah penyair memperoleh kekuatan jiwa melalui ide, gagasan, dan perasaan.
Dalam kaitan ini, penyair Riami begitu lebur bertadarus diri melalui unsur puitika setelah ia meluapkan perasaan yang penuh daya cipta tersebut.
Untuk meneliti isi puisi dari dalam, perlu kita selidiki dari unsur-unsur yang membangun nilai rasa (feel), sehingga kita memahami unsur etimologinya tatkala penyair membangun unsur-unsur daya ciptanya.
Apabila diamati, dari teori dikotomi untuk memahami puisi Tadarus Diri ini, ternyata memiliki dua sudut pandang teoritik, yakni, sudut bentuk dan isi. Sebab di dalamnya terdapat unsur norma (agama) di atasnya, sehingga memunculkan lapis-lapis norma lainnya.
Sebab setiap kata di dalam puisi itu memiliki lapis bunyi dan lapis arti (tone and sense). Karena itu Riami tak ragu untuk mengungkap aku (lirik) yang usianya sudah menggerus ketahanan fisiknya (rambut putih dan gigi berlubang).
Kesadaran moralnya sebagai penyair, terungkap melalui alinea kedua…. Kulihat sebening embun menggantung//Jatuh mengingat dosa-dosa//Mengingat kepingan-kepingan luka
Kesadaran moral semacam ini terungkap setelah ia mengkaji diri melalui aktivitas tadarusan : ..Di sudut jendela mata
Tahapan pada sudut pandang pengkajian semacam ini merupakan analisis dari lapis bunyi (kata) yang menjadi landasan penting untuk menjajaki alinea ketiga..
Hati bergetar, bibir masih memanggil-Mu//Berteriak ke ulu hati, ke jantung hingga rontok segala kepongahan…
Dalam kaitan sudut bunyi dan dari sudut arti, penyair mampu memaparkan tujian akhirnya sebagai suatu kesadaran moral sehingga ia mampu mengenyampingkan perasaan sombong (pongah) yang selama ini telah membebani kehidupannya.
Jika diamati secara esensi, puisi Tadarus Diri ini banyak mengungkap pesan secara isyarat. Sebab melalui indera telinga, mata, dan kode rasa, penyair mampu menafsirkan segala perkembangan jiwanya dari masa muda, tua, hingga kesadaran moralnya mengusir kesombongan, congkak, angkuh, pongah, dan merasa hebat sendiri.(*)
Palembang
18 Maret 2024