Oleh : Khoiril Sabili
Pengamat Politik Muda
BERITAPRESS.ID | Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang memisahkan Pemilu nasional (Presiden, DPR, DPD) dan Pemilu lokal (DPRD, Pilkada) mulai 2029 dengan jeda 2—2,5 tahun patut dicermati lebih dalam. Putusan ini memang membuka ruang reformasi sistem pemilu, namun saya menilai bahwa substansi dari keputusan tersebut masih belum menyentuh akar persoalan demokrasi elektoral kita.
Secara normatif, langkah ini bisa dipahami sebagai upaya memberikan porsi fokus yang lebih besar pada isu-isu lokal dan nasional secara terpisah. Tetapi jika kita menelaah lebih jauh, terutama dari sisi kualitas demokrasi, keputusan ini belum menyentuh kebutuhan mendasar dalam memperbaiki sistem demokrasi kita yang masih stagnan.
Indeks demokrasi Indonesia yang dirilis oleh lembaga seperti Economist Intelligence Unit (EIU) dan Freedom House menunjukkan bahwa dalam lebih dari satu dekade terakhir, Indonesia masih tergolong sebagai negara dengan “cacat demokrasi” (flawed democracy) dan bahkan hanya “partly free”. Ini merupakan alarm serius bahwa reformasi kelembagaan belum cukup menyeluruh dan belum menyentuh dimensi substantif demokrasi.
Menjelang Pemilu 2029, saya mengusulkan agar kita tidak hanya menilai perubahan ini secara prosedural, melainkan juga melalui pendekatan multidimensi yang menyentuh sisi:
Politik: Pemisahan ini berpotensi menghadirkan pemusatan isu yang lebih fokus, namun berisiko menghilangkan efek ekor jas (coattail effect) serta memperparah fragmentasi politik.
Konstitusi: Putusan ini adalah bentuk interpretasi baru terhadap Pasal 22E UUD 1945, namun di sisi lain justru memicu inkonsistensi terhadap amanat pemilu serentak yang sudah dirancang konstitusional.
Teknologi: Momentum ini seharusnya bisa mendorong digitalisasi pemilu. Namun, absennya regulasi yang kuat terkait e-voting menjadikan peluang ini masih mentah.
Ekonomi: Dalam jangka panjang, pemisahan pemilu berpotensi menciptakan efisiensi fiskal. Tapi dalam jangka pendek, biaya akan berlipat ganda karena pelaksanaan dua kali pemilu nasional dan lokal.
Stabilitas Politik: Pemilu yang terpisah bisa menjadi momen evaluasi berkala, tapi risikonya adalah suhu politik yang berkepanjangan tanpa jeda pemulihan.
Kita juga harus mengakui bahwa berbagai upaya seperti pembatasan jumlah partai melalui threshold, serta ketentuan administratif untuk mendirikan partai politik, belum efektif menyederhanakan sistem multipartai yang kompleks dan tidak efisien.
Untuk itu, diperlukan terobosan baru: reformasi regulasi yang lebih tajam, rekayasa sosial yang mampu mengarah pada pembentukan sistem multipartai terbatas, dan bahkan bila perlu, perubahan sistem pemilu menuju model semi distrik terbuka.
Putusan MK ini bisa menjadi pemantik. Tapi untuk benar-benar memperkuat demokrasi Indonesia, kita tidak cukup hanya mengatur jadwal pemilu. Kita perlu mengubah cara kita melihat demokrasi bukan sebagai perayaan elektoral semata, tapi sebagai mekanisme yang menjamin akuntabilitas, partisipasi, dan stabilitas jangka panjang. (*)