Scroll untuk baca artikel
Sastra

MENGGUGAT KEBODOHAN SENDIRI

×

MENGGUGAT KEBODOHAN SENDIRI

Sebarkan artikel ini

Anto Narasoma

PROFESI wartawan oleh sementara pihak, masih dilecehkan. Padahal eksistensi wartawan itu sangat dibutuhkan masyarakat, karena karya tulisnya bisa dijadikan pengetahuan sangat berharga.

Maka ketika kita memantapkan diri untuk menjadi wartawan, sebaiknya kita perlu bertanya ke diri sendiri.

Sebab ada beberapa poin pertanyaan yang kelak menjadi risiko bagi kita pribadi, setelah ditugaskan redaksi turun ke lapangan untuk menggali sejumlah data berita.

Seperti biasa, bagi wartawan pemula, akan dilanda perasaan bingung ketika berhadapan dengan persoalan di lapangan. Karena kita harus memulai tugas yang kita emban itu dari sisi mana. Kebanyakan para pemula akan mengalami hal seperti itu.

Maka secara pribadi, muncul pertanyaan di hati saya, yang menggelitik kebodohan diri sendiri. Terkait masalah itu akan muncul berbagai pertanyaan di hati sendiri.

Pertama, mampukah kita menjadi seorang jurnalis sejati dengan karya tulis yang proporsional dan menyentuh aspek 5W plus 1H ?

Kedua, apakah kita siap menerima sejumlah tugas kewartawanan yang ditugaskan redaksi dari media tempat kita bekerja?

Ketiga, mampukah kita bertanya ke diri sendiri, apa yang harus kita perbuat untuk mengangkat eksistensi diri sendiri di dalam membesarkan media kita?

Kemudian pertanyaan keempat, sudah sejauh apa kita mengetahui pendalaman tugas-tugas yang kita lakukan untuk membesarkan karir kita sendiri sebagai wartawan?

Barangkali pertanyaan ini akan bisa menyadarkan keangkuhan diri sendiri, ketika menghadapi beragam kesulitan di lapangan. Dengan begitu akan muncul etika simpatik untuk menyingkirkan keangkuhan dan bentuk kesombongan intelektual diri sendiri.

Apabila kita tidak mampu menjawab empat pertanyaan di atas, maka sebagai wartawan kita tidak pantas menyanjung diri sendiri sebagai seorang jurnalis sejati.

Karena sebagai wartawan, sangat diharamkan untuk membusungkan dada, seolah kita ini adalah segala-galanya dibandingkan orang lain.

Ada pameo yang muncul di diri jurnalis pemula. Misalnya, setelah ia mampu melakukan tugasnya sebagai pencari berita, efek tugasnya dijadikan senjata untuk menakut-nakuti narasumber. Paling tidak, dengan cara itu sumber yang sedang dicengkeram satu kasus, akan ketakutan dan memberi finansial dengan nilai yang lumayan, asalkan kasusnya tidak diberitakannya.

Nah, inilah batu sandungan bagi jurnalis yang kelak akan menenggelamkan karir kewartawanannya. Apalagi jiwanya sedang digerogoti keserakahan, sehingga ketika di lapangan ia hanya berpikir bagaimana mencari “gondang” (finansial) sebanyak-banyaknya.

Padahal ketika saya ikut pendidikan di Jawa Pos (Surabaya), Pak Dahlan Iskan pernah menyatakan ke saya bahwa seorang wartawan itu “diharamkan” untuk meminta-minta ke narasumber terkait nilai uang. Jika sikap ini bisa kita lenyapkan dari diri kita, maka eksistensi kita akan berharga dan dihargai oleh berbagai kalangan.

Saya sudah enam tahun lebih pensiun dari surat kabar Sumatera Ekspres. Tapi sejauh itu saya tidak pernah kekurangan uang atau keluargaku kelaparan. Ketiga anakku semuanya sarjana. Dan, seorang di antaranya bekerja sebagai jurnalis Metro TV Jakarta.

Meski demikian saya tetap komitmen sebagai wartawan yang tak pernah khawatir tidak ada rezeki. Sebab setiap kita, atau setiap manusia, besar kecil nilai rezekinya sudah ditentukan Allah SWT.

Karena itu ketika kita masuk ke ruang jurnalis sebagai wartawan, tujuannya adalah membangun metode kepribadian yang disukai orang banyak. Ini yang perlu kita gugat di dalam diri sendiri.

Namun ada di antara mereka yang sudah tercatat sebagai wartawan senior, tiba-tiba mulai membesarkan ukuran dadanya. Bahkan sengaja dibusungkan. Semua yang ada di lingkungan seolah wartawan kecil dan tidak ada apa-apa dibanding diri sendiri. Seolah merasa bahwa kitalah wartawan paling hebat sedunia.

Tak ada wartawan lebih hebat dari dirinya. Semuanya dianggap kecil dan memiliki kinerja buruk. Itulah kesombongan intelektual yang telah menguasai diri nya.

Padahal apalah hebatnya diri ini apabila tidak ada redaktur dan editor yang mengedit berita kita. Sebab berita yang ia tampilkan di surat kabar adalah hasil editan orang-orang di redaksi.

Bahkan ketika akan terjun ke lapangan mencari berita headline di halaman satu, dirinya diberi masukan dari teman-temannya di dalam rapat redaksi.

Apakah ketika ia memperoleh berita yang dianggap hebat dirinya merasa lebih hebat dibanding kawan-kawan lain ? Wah, ini sangat berbahaya bagi dirinya sendiri.

Di dalam keredaksian media, kekuatan jurnalistik itu satu komponen yang saling mengikat satu dengan yang lainnya.

Jadi apabila kita merasa besar setelah memperoleh popularitas, maka semakin kerdillah diri kita. Harusnya, semakin tinggi nilai diri kita, sebaiknya semakin rendah hatilah kita. Karena kerendahan hati seseorang (wartawan) justru akan melambungkan dirinya sebagai wartawan yang berdedikasi tinggi.

Karena itu sebagai wartawan harus memiliki nilai kesadaran bentuk dan sadar ruang. Sebab besar atau tidaknya kita, selain didukung kawan-kawan sesama wartawan di redaksi, kita juga perlu memahami konten Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 dan Kode Etik Jurnalistik (KEJ).

Jadi baik buruknya tugas inti seorang wartawan terpulang ke diri sendiri. Sebab aturan yang menguatkan tugas kita tujuannya untuk membangun karir seseorang menjadi wartawan sejati yang berkualitas tinggi.

Dari bab, pasal-pasal dan nilai konotasi UU No. 40 tahun 1999 dan KEJ itu, merupakan landasan tugas seorang jurnalis agar ia mengerti betul apa itu wartawan, fungsi, dan tugas-tugasnya.

Itulah corak wartawan sejati yang patut dijempoli. Selalu bekerja sama untuk membangun kekuatan prinsip dasar jurnalism, sehingga tak ada lagi pihak tertentu yang melecehkan tugas seorang wartawan.

Jadi, jangan merasa hebat sendiri dalam melaksanakan tugas-tugas kewartawanan. Sebab sikap sombong dan angkuh akan menjadi virus berbahaya yang dapat mematikan profesi kita sebagai seorang jurnalis sejati. (*)

Palembang
24 Januari 2023