Ngakak

Manusia Plastik di Bawah Hujan Plastik

×

Manusia Plastik di Bawah Hujan Plastik

Sebarkan artikel ini
foto : Kemkes/ist

Mikroplastik turun bersama air hujan, pertanda alam mulai menegur manusia dengan cara halus.

HUJAN sore itu turun pelan di Jakarta. Orang-orang buru-buru berteduh, pengemudi ojek online berhimpit di bawah jembatan tol sembari melirik langit dengan wajah pasrah. Tapi kata peneliti BRIN, air yang jatuh dari langit sekarang bukan cuma H₂O. Ada tambahan “bumbu modern”, mau tahu? siapa lagi kalau buka mikroplastik.

Iya, plastik, bro…kok bisa?
Ia dong…benda dulunya cuma buat bungkus gorengan, sekarang jadi topping hujan. Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) nemuin partikel plastik halus di air hujan Jakarta. Artinya, hujan sekarang gak cuma membawa berkah, tapi juga balasan.

Pasalnya, dulu manusia buang plastik ke sungai, sekarang langit yang buang balik ke kepala kita. Bedanya, kalau manusia marah bisa ngomel, alam balasnya elegan lewat gerimis yang lembut tapi nyelekit.

Bayangin coba ente.. plastik yang kamu buang waktu beli es teh sachet di warung, bisa aja sekarang jatuh pelan-pelan di rambut kamu dalam bentuk debu mikroskopis. Ia naik ke udara terbawa angin, menumpang awan, lalu turun lagi lewat hujan.

Aneh kan!, sebuah perjalanan spiritual yang luar biasa, dari tangan manusia, ke langit, lalu balik lagi ke manusia. Mirip mantan yang dulu kamu lepas, tapi tiba-tiba nongol lagi di reuni sekolah.

Ingat kata Pepatah, “Apa yang kau tanam, itu yang kau tuai”, benar nggak?
Tapi di era plastik ini, mungkin pepatahnya harus di-upgrade jadi “Apa yang kau buang, itu yang bakal turun dari langit”

Apalagi plastik itu bandel, bro. Tak bisa hancur kayak janji kampanye. Ia cuma berubah bentuk, nyamar jadi partikel halus yang numpang di udara, di laut, atau di paru-paru kita. Alam rupanya tahu cara balas dendam tanpa marah, cukup lewat hujan.

Coba tengok gaya hidup kita sekarang. Segalanya instan, serba cepat, serba bungkus.
Kopi sachet, makanan instan, sedotan plastik warna-warni.
Kita sibuk kampanye “Save the Earth”, tapi masih belanja online dengan tiga lapis bubble wrap.
Ganti sedotan stainless biar kelihatan eco-friendly di Instagram, padahal bungkus makanannya tetap plastik juga.

Kita pengen sehat, tapi hidupnya dikelilingi polimer.
Pengen selamatkan bumi, tapi malas cuci tumbler.
Pengen bersih, tapi nyuci baju sintetis yang justru nyumbang mikroplastik ke sungai.

Sungguh, manusia masa kini pantas disebut makhluk dua dimensi, yaitu daging dan plastik.

Ngaku deh, siapa yang tiap minggu nyuci baju jersey, jaket parasut, atau legging olahraga?
Setiap kali mesin cuci berputar, jutaan serat mikro dari bahan sintetis lepas ke air dan lari ke sungai.

Jadi, sementara kamu bangga karena cucianmu wangi bunga sakura, di luar sana sungai lagi ‘berbusa’ mikroplastik hasil cucianmu.

Kalau sungai bisa ngomong, mungkin dia bakal bilang, “Wangi sih, bro, tapi aku gak butuh pewangi. Aku butuh jeda dari plastikmu”.

Lucu ya… manusia modern. Mau bersih, tapi yang dibersihkan justru menambah kotoran di alam.

Kisah plastik ini sebenarnya mirip drama cinta bertepuk sebelah tangan.
Kita yang buang, dia yang balik lagi.
Kita beli air mineral botolan, minum isinya, buang botolnya sembarangan.
Botol itu pecah, jadi mikroplastik, hanyut ke laut, dimakan ikan, dan akhirnya balik lagi ke tubuh kita lewat seafood favorit.

Siklusnya lengkap banget, karma bersponsor air mineral ? ngerti nggak maksudnya, begini kita, pikir kita makhluk modern yang berkuasa atas alam. Padahal alam cuma senyum dan bilang, “Kau pikir aku diam? Aku cuma sabar”

Dan… sabar, seperti kita tahu, adalah bentuk balas dendam paling tenang.

Coba cek diri kita. Dari ujung rambut sampai ujung kaki, hidup kita dikelilingi plastik, misalnya  Shampo pakai microbeads, baju dari polyester, makanan dibungkus mika, air dikemas botol PET, udara pun penuh serat sintetis.

Tubuh kita perlahan jadi edisi terbatas dari peradaban modern, yakni lentur, kuat, dan meleleh kalau kepanasan benar-benar mirip plastik.

Ironisnya, manusia sekarang takut gemuk, tapi gak takut jadi plastik.
Diet karbo iya, diet sampah enggak…hehehe.

Mikroplastik ini kayak mantan toxic, yaitu kecil, gak kelihatan, tapi efeknya bisa panjang.
Belum ada bukti ilmiah bahwa dia langsung bikin penyakit, tapi kalau numpuk terus bisa ganggu hormon, peradangan, bahkan kesuburan.

Bayangin, kita udah makan sayur organik, minum air putih, olahraga tiap pagi, tapi di dalam tubuh ada partikel plastik nyangkut manja di jaringan organ.
Kita berusaha hidup bersih, tapi dunia malah “menaburi” kita dengan kotoran yang tak kasat mata.

Dan di tengah semua itu, langit ikut nimbrung, nurunin hujan plastik, seolah mau bilang “Kau pikir aku cuma pengamat? Aku bagian dari permainanmu”

Mungkin alam gak pernah benar-benar marah. Dia cuma bosan.
Bosan lihat manusia merasa paling pintar tapi tak sadar diri.
Dia gak perlu tsunami atau gempa buat ngasih pelajaran cukup turunkan hujan plastik, dan manusia langsung gelisah.

Hujan plastik itu teguran halus, pesannya jelas “Kalau kamu terus buang sembarangan, jangan salahkan aku kalau suatu hari kamu sendiri yang kebanjiran”

Oleh sebab itu, manusia sering menganggap alam sabar tanpa batas, padahal sabar juga punya masa aktif.
Dan mungkin sekarang masa aktif itu tinggal sebentar lagi.

Kiat kecil, dampak Besar

Kita gak bisa kabur sepenuhnya dari plastik, tapi kita bisa ngurangin jatahnya.
Mulai dari hal remeh tapi nyata, seperti bawa botol isi ulang, pakai tas kain, hindari produk sekali pakai, pilah sampah dan tolong, jangan bakar plastik itu bukan aroma nostalgia, itu racun.

Gak usah nunggu orang lain.
Karena perubahan besar selalu dimulai dari orang yang gak nunggu siapa-siapa.

Jadi, sekarang, setiap kali hujan turun, mungkin langit lagi mencoba bicara.
Bukan lewat petir, tapi lewat partikel halus yang jatuh pelan di rambut kita.
Kalau kamu merasa gerimis terasa “berat”, bisa jadi itu bukan cuma air, tapi rasa bersalah bumi yang sedang menetes.

Oleh karena itu, manusia boleh canggih, tapi alam lebih sabar.
Kita boleh menundukkan langit, tapi gak bisa menipu bumi.
Hujan plastik adalah teguran yang dikemas manis,  lembut di kulit, tapi tajam di nurani.

Apa yang kita buang hari ini, suatu saat akan kembali, entah lewat laut, udara, atau hujan.
Dan ketika itu terjadi, semoga kita gak cuma mendongak, tapi juga menunduk.
Mengakui bahwa kita pernah salah, dan masih punya waktu buat memperbaikinya.

Karena bumi ini bukan tempat sampah, bro.
Dia cuma rumah dan rumah, sejauh apa pun kamu buang kotorannya, akhirnya bakal bau juga.[***]