MENDENGAR kata “teroris”, gambarannya orang itu pasti pakai baju hitam, sembunyi di hutan, atau muncul tiba-tiba di TV. Sekarang? Musuhnya pindah ke kantong celana anak-anak, di HP mereka sendiri. Kan gitu setidaknya!. Video TikTok 30 detik, meme nyeleneh, sampai konten yang kelihatan lucu, tapi sebenernya radikal bisa bikin anak terseret arus ekstremisme lebih cepat daripada kita selesai ngopi.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) baru aja gelar kegiatan koordinasi di Bogor, 18–19 November 2025, bertema Perlindungan Anak dari Jaringan Terorisme. Pesannya jelas anak-anak bukan cuma korban kekerasan fisik, tapi juga korban ideologi berbahaya di dunia digital.
Asisten Deputi Susanti bilang, “Perlindungan anak tanggung jawab semua pihak, pemerintah, keluarga, sekolah, masyarakat, sampai admin grup WA RT yang suka forward berita hoaks”.
Kalau kata Susanti, jangan sampai orang tua kalah cepat sama algoritma TikTok. Bayangkan anak scrolling konten ekstremisme, orang tua masih bingung bedain mode hemat baterai sama mode pesawat.
Dulu rekrutmen teroris butuh strategi jalan kaki ke hutan, sekarang cukup HP dan WiFi. Data Komdigi mencatat 3,2 juta konten negatif dari Oktober 2024-November 2025, 8.305 di antaranya mengandung radikalisme dan terorisme. Bayangkan: satu ditekan, dua muncul lagi.
Densus 88 juga mencatat lonjakan aksi pencegahan dari 1.536 (2022) jadi 19.416 (2024). Artinya, ancamannya nyata, dan cara mereka menyebar pesan makin kreatif. Anak-anak bisa jadi sasaran empuk kalau kita nggak sigap.
Anak yang terpapar ideologi ekstrem bukan tiba-tiba bangun tidur terus deklarasi “aku mau jadi radikal”. Menurut pengamat terorisme Noor Huda Ismail, penyebabnya bisa karena doktrin keluarga, jaringan sosial yang berbahaya, kurangnya pengawasan digital atau ekspos kekerasan sejak dini.
Makanya, penanganannya nggak bisa asal hukum aja. Anak-anak butuh pendampingan psikososial, edukasi, dan reintegrasi sosial. Bukan dihukum layaknya kriminal dewasa.
Di sinilah pentingnya unit layanan seperti UPTD PPPA dan PUSPAGA (302 unit se-Indonesia). Tempat ini nggak cuma buat curhat ibu-ibu muda, tapi jadi rumah aman bagi anak-anak yang terpapar radikalisme.
Beberapa daerah sudah mulai “melek” Di Jawa Tengah, ada inisiatif Kecamatan Berdaya, mengintegrasikan hak-hak anak ke dalam pembangunan.
Di Bandung, Dinas PPPA menyediakan layanan penjangkauan, konseling, pendampingan pendidikan, hingga perlindungan sosial.
Kalau layanan ini nggak ada, anak scrolling TikTok sendiri, orang tua sibuk kerja, guru fokus absen murid… hasilnya? Bisa-bisa anak lebih paham teori radikal daripada pelajaran IPA.
Tips Lindungi Anak Tanpa Jadi “Detektif Digital” 24/7
Update ilmu digital, jangan kalah sama algoritma.
Temani anak browsing, jangan cuma bilang “jangan buka itu!”.
Perkuat literasi digital di rumah & sekolah. Ajari anak bedain konten lucu vs konten berbahaya.
Libatkan komunitas. Tetangga, guru, bahkan admin grup WA, bisa jadi garda depan proteksi anak.
Rehabilitasi & konseling untuk anak yang sudah terpapar. Jangan panik, tapi jangan diam juga.
Jadi begini, kalau dulu perang melawan terorisme pakai senjata, sekarang pakai konten, meme, dan algoritma. Orang tua, guru, pemerintah, sampai masyarakat harus sigap. HP anak bisa jadi “jalan tol” radikalisme kalau kita nggak jaga.
Tapi jangan panik! Kita nggak perlu jadi detektif digital 24 jam nonstop. Sedikit kreativitas, literasi digital, dan humor sehat bisa jadi senjata ampuh.
Akhir kata: jangan sampai anak lebih paham teori radikal daripada Pythagoras. Kalau perlu, pasang stiker di HP anak “Konten Radikal? Swipe Up ke Konseling!”
Dengan pedoman teknis, layanan lokal yang kuat, dan komitmen semua pihak, anak-anak tetap bisa tumbuh aman, bahagia, dan bebas dari ideologi kekerasan. Dan kalau ada yang coba nge-viral konten radikal, tinggal bilang “Eh…, HP kamu nggak bisa dikalahin orang tua? Tunggu aku update aplikasi literasi digital.[***]

























