DI tengah dunia yang serba cepat dan penuh lomba-lomba followers, lomba views, lomba siapa paling viral muncul satu ajakan segar dari Wakil Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Veronica Tan
“Kata kuncinya kolaborasi. Pemerintah tidak bisa berjalan sendiri tanpa peran anak muda, swasta, universitas, komunitas, dan media”.
Ya, kolaborasi anak muda bukan cuma jargon kekinian, tapi kebutuhan zaman. Karena hari ini, yang bisa selamatkan Indonesia bukan mereka yang paling cepat, tapi mereka yang mau jalan bareng.
Veronica Tan menyebut bahwa kekuatan bangsa tumbuh dari kerja sama lintas sektor. Pemerintah mendukung berbagai gerakan berbasis potensi lokal, seperti Kampus Bambu di Nusa Tenggara Timur yang menanam bambu untuk menjaga air dan hidupkan ekonomi, serta Kampung Ilmu yang mengembangkan pertanian komunitas berbasis kearifan lokal.
Dua contoh nyata kolaborasi anak muda ini menunjukkan bahwa perubahan besar justru lahir dari aksi kecil yang dikerjakan bareng-bareng.
“Ekonomi restoratif berarti kita kembali ke alam. Kita tanam bambu, bangun kebun komunitas, dan kembangkan turisme yang tak merusak lingkungan,” jelas Veronica.
Veronica juga mengingatkan, kolaborasi anak muda tak lagi bisa hanya di dunia nyata. Di era digital, kolaborasi bisa berarti menghubungkan potensi lokal dengan teknologi global dari promosi produk desa di marketplace, sampai membuat konten edukatif yang mengangkat budaya daerah.
“Anak muda harus jadi pelaku, bukan penonton. Gunakan digital dan teknologi untuk menciptakan pekerjaan baru dan masa depan yang inklusif,” ujar Wamen PPPA.
Singkatnya, kalau dulu lomba siapa paling banyak pengikut, sekarang waktunya lomba siapa paling banyak kolaborator.
Deputi Pelayanan Kepemudaan Kemenpora, Yohan, mengapresiasi peran pemuda Indonesia dalam forum internasional seperti BRICS+ Youth Summit 2025 di Brasil.
“Pemuda Indonesia bukan hanya penerima kebijakan, tapi mitra strategis dalam arah pembangunan global,” kata Yohan.
Dengan bergabungnya Indonesia ke BRICS, ruang kolaborasi terbuka lebar. Tapi seperti kata pepatah, globalisasi tanpa lokalitas cuma bikin kita kehilangan jati diri. Maka kolaborasi anak muda harus dimulai dari kampung sendiri, baru menembus dunia.
Gotong royong itu bukan kata kuno, tapi versi asli dari kolaborasi anak muda. Bedanya, sekarang wadahnya bukan cuma sawah dan balai desa, tapi ruang digital, komunitas kreatif, dan platform sosial.
Anak muda perlu berhenti saling adu keren, dan mulai saling bantu. Karena masa depan Indonesia nggak ditentukan oleh siapa yang paling trending, tapi siapa yang paling terhubung dan berkolaborasi.
Kolaborasi anak muda bukan sekadar kerja bareng, tapi semangat gotong royong versi 5G, cepat, cerdas, dan berdampak.
Indonesia punya segalanya: budaya, alam, dan kreativitas. Yang kurang cuma satu ruang untuk kolaborasi yang nyata.
Jadi, daripada sibuk cari spotlight sendiri, lebih baik kita nyalakan lampu bersama. Karena cahaya yang besar selalu lahir dari sinar kecil yang bergabung jadi satu.
Kolaborasi anak muda bukan cuma cara baru selamatkan Indonesia, tapi cara lama yang kembali relevan: gotong royong versi zaman digital.[***]

























