Cerita kocak generasi inovatif, design thinking, dan industri kreatif berkelanjutan ala Kemenperin
INDUSTRI kreatif anak muda sering dianggap ruang idealisme yang terlalu hijau dan penuh mimpi. Padahal hari ini, hijau bukan cuma soal umur, tapi juga soal arah industri. Di tangan generasi muda, daun bukan lagi sekadar peneduh halaman atau bahan bungkus nasi, melainkan berubah jadi motif fesyen, identitas merek, dan peluang cuan yang ramah lingkungan.
Kemenperin menyebut industri kreatif sebagai sektor strategis. Bahasa resminya memang rapi, dasinya lurus. Tapi di lapangan, ceritanya sering kali jauh lebih seru.
Coba misalnya anak-anak muda datang ke workshop fesyen dengan laptop di tas dan ide-ide global di kepala. Pulangnya? Bawa kain ecoprint, bau kukusan, dan jari-jari yang masih ingat rasanya ngaduk daun. Inilah romantika industri kreatif, antara pitch deck dan panci kukus.
Bahkan generasi muda hari ini bukan cuma mikir “bagus nggak dipakai,” tapi juga “bumi marah apa tidak”. Salah pilih bahan, bisa-bisa alam protes diam-diam. Maka lahirlah sustainable design, istilah keren yang kalau diterjemahkan ke bahasa warung kopi artinya sederhana jangan merusak, kalau bisa awet, ya dipakai lama.
Kemenperin lewat BPIFK ikut nimbrung. Workshop ecoprint, design thinking, pameran, inkubasi, semua difasilitasi. Negara hadir, bukan cuma memotong pita, tapi juga ikut memastikan anak muda nggak tersesat di labirin idealisme tanpa peta pasar. Ini penting, sebab industri kreatif tanpa pasar itu ibarat band indie tanpa penonton: karyanya bagus, tapi tepuk tangan cuma dari teman sendiri.
Design thinking sering terdengar seperti mantra Silicon Valley. Empathize, define, ideate, prototype, test. Padahal kalau diringkas ala kampung dengar keluhan orang, bahas rame-rame, coba bikin, salah, ulangi. Bedanya, yang satu pakai post-it notes warna-warni, yang satu pakai kopi sachet.
Tapi jangan salah ya, metode ini bikin ide nggak jatuh dari langit begitu saja. Ia lahir dari empati, kata yang sekarang sering dipakai, tapi jarang dipraktikkan. Anak muda diajak memahami manusia, bukan cuma tren. Hasilnya? Produk yang nggak sekadar cantik di etalase, tapi relevan di kehidupan nyata.
Bersyukurlah sebenarnya, Indonesia itu sedang dapat bonus demografi. Bahasanya manis, hadiahnya besar. Tapi bonus bisa jadi mubazir kalau cuma dipajang.
Ibaratnya nih, dapur penuh bahan, ada sayur, ada bumbu, ada kompor. Kalau nggak dimasak, ya tetap mentah. Di sinilah industri kreatif jadi wajan nasional, dimana, tempat anak muda mengolah ide jadi nilai tambah.
Dan Bali?, Ia seperti dapur terbuka. Dunia datang melihat, dari Uma Seminyak sampai pameran internasional, karya anak bangsa dipajang. Bukan sekadar show off, tapi pembuktian bahwa kreativitas lokal bisa bicara global tanpa kehilangan aksen daerah.
Jepang misalnya, Negeri Sakura ini jago mengawinkan tradisi dan teknologi. Kimono bisa tampil futuristik tanpa kehilangan ruh. Prinsipnya satu, hormati masa lalu, kuasai masa depan. Anak mudanya inovatif, industrinya disiplin, budayanya tetap jadi tuan rumah.
Begitu pula dengan Korea Selatan, industri kreatif mereka dikelola seperti idol group, terencana, konsisten, dan didukung negara. K-pop, K-fashion, K-drama, semua satu paket, bahkan kreativitas itu bukan cuma ekspresi, tapi strategi nasional.
Italia juga? jangan tanya soal fesyen dan kriya. Mereka memelihara craftsmanship seperti memelihara keluarga. Produk boleh modern, tapi tangan manusia tetap dihargai. Nilai tambah lahir dari cerita, bukan cuma mesin.
Lihat pula Denmark, negara kecil dengan visi besar. Desain mereka sederhana, fungsional, dan berkelanjutan. Mereka percaya, desain yang baik harus bikin hidup lebih mudah, bukan cuma lebih bergaya, lingkungan bukan bonus, tapi prasyarat.
Empat negara, satu benang merah, kreativitas itu ekosistem. Ada pendidikan, ada industri, ada pasar, ada negara yang hadir. Indonesia sedang ke arah sana, pelan, kadang ribut, tapi bergerak.
Idealisme & Dompet
Ada yang bilang, sustainable itu mahal, padahal yang mahal sering kali ketidaktahuan. Produk yang awet justru menghemat. Lingkungan tersenyum, dompet ikut tenang. Anak muda paham ini. Mereka tak lagi silau produksi massal tanpa pikir panjang. Mereka memilih tumbuh, bukan sekadar cepat.
Kemenperin membaca arah angin ini. Fasilitasi diberikan, ruang dibuka. Anak muda dibiarkan bereksperimen, tapi tetap diingatkan soal pasar. Sebab idealisme tanpa keberlanjutan ekonomi hanya akan jadi poster motivasi di dinding kamar.
Oleh karena itu, industri kreatif Indonesia memang sedang mencari bentuk terbaiknya. Kadang lucu, kadang berisik, kadang bau kukusan. Tapi justru di situlah hidupnya. Generasi muda membawa energi, teknologi memberi alat, budaya memberi jiwa. Negara? Memberi panggung dan lampu sorot.
Kalau proses ini dijaga, bukan mustahil produk berbasis daun, ide, dan empati manusia bisa menembus pasar global. Tanpa harus menanggalkan identitas, tanpa perlu meniru mentah-mentah. Kita punya cerita sendiri dan dunia suka cerita yang jujur.
Seperti kata pepatah, “Sedikit-sedikit, lama-lama menjadi bukit”, Industri kreatif pun begitu. Dari daun, dari ide kecil, dari workshop sederhana, kalau dirawat bersama, ia bisa jadi gunung peluang. Tinggal satu yaitu jangan berhenti memasak.[***]

























