“Rayuan maut para ‘om-om digital’ yang lebih lihai dari sales pulsa keliling”
KALAU dengar kata grooming, banyak orang langsung mikirnya soal perawatan diri.
“Wah…., anakku diajak grooming, biar glowing!” katanya bangga.
Padahal, kalau yang ngajak itu bukan tukang cukur tapi player game online misterius yang baru kenalan tiga hari, sebaiknya segera cabut Wi-Fi, pasang pengumuman “rumah ini disterilkan dari predator digital”, dan peluk anakmu erat-erat.
Karena grooming yang satu ini bukan soal poni miring, tapi rayuan licin predator maya yang bisa menyeret anak-anak polos ke jurang eksploitasi digital.
Dulu anak main game itu cuma rebutan ranked, bukan rebutan perhatian om-om asing.
Sekarang, di balik karakter imut di Roblox atau Free Fire, bisa aja ada predator berbaju gamer.
Modusnya halus memang ngajak mabar, kirim skin gratis, pura-pura jadi teman curhat yang perhatian.
Awalnya ‘ayo main bareng’, ujungnya ‘kirim foto ya….
Wih…, ceritanya begitu pelan, begitu lembut, sampai anak tak sadar bahwa yang dia anggap teman sebenarnya jerat halus yang siap menelan.
Ironisnya, banyak orang tua masih santai.
“Yang penting anak di rumah, gak keluyuran,” katanya.
Padahal di era digital, keluyuran bisa dilakukan sambil rebahan.
Predator gak perlu datang ke rumah cukup nongol lewat headset anakmu.
Negara sih gak diem. Ada Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Pornografi (GTP3) yang mau diperkuat, kata Wamen PPPA Veronica Tan kemarin dalam rilis resminya kemenpppa.
Tapi, predator digital ini geraknya kayak maling yang tahu kapan CCTV mati.
Mereka pakai deepfake, sextortion, dan live streaming buat ngeruk keuntungan dari kelemahan anak-anak.
Yang bikin miris lagi, Indonesia sekarang peringkat tiga dunia dalam kasus eksploitasi seksual digital anak. Waduhh!!.
Tiga besar, bro! Padahal kita gak daftar lomba.
Predatornya udah main turbo, sementara aturan kadang masih nyari colokan laptop buat rapat koordinasi.
Kalau ini balapan, bisa-bisa Negara baru start, predator udah finish line sambil selfie.
Banyak orang tua merasa lega, karena anaknya gak keluar rumah lagi bikin tenang, nggak merasa was..was lagi.
Padahal, keluar rumah sekarang gak perlu kaki cukup sinyal dan headset. Itu yang nggak nyadarnya orang tua.hehehe..
Bahkan anak itu lebih pinter, bisa ‘jalan-jalan’ ke server asing, ngobrol sama orang yang bahkan gak tahu letak Indonesia di peta.
Dan…. predator digital itu sabarnya luar biasa, lebih sabar dari admin grup RT.
Pelan-pelan mereka kasih perhatian, pujian, empati hingga anak merasa dimengerti.
Padahal itu cuma strategi grooming, cara membangun kepercayaan sebelum menjebak.
Makanya, orang tua gak bisa cuma bangga karena bisa pakai emoji baru di WhatsApp.
Harus bisa jadi ‘detektif digital’ di rumah.
Ngobrol sama anak, bukan cuma soal nilai atau PR, tapi juga, “Nak, teman baru kamu di game itu beneran anak SMP juga, apa cuma ngaku-ngaku?”.
Karena kadang, yang paling mencurigakan bukan akun palsu, tapi teman yang terlalu cepat akrab.
Banyak yang teriak soal ‘literasi digital’, tapi prakteknya cuma jangan sebar hoaks.
Padahal literasi digital juga berarti paham risiko interaksi online dan ngerti modus predator maya.
Anak zaman sekarang udah digital native, tapi orang tuanya masih analog banget.
Anak paham VPN, orang tua baru tahu cara matiin notifikasi grup arisan.
Kalau anak mulai curhat aneh, suka menyendiri, atau HP-nya dikunci tujuh lapis, jangan dibilang ‘lagi puber’.
Itu sinyal bahaya, bukan sinyal cinta.
Literasi digital bukan cuma untuk influencer, tapi buat semua keluarga biar gak ada lagi anak yang tumbuh dengan trauma hasil pergaulan di dunia maya.
Wamen PPPA Veronica Tan bilang, penguatan Gugus Tugas Pornografi (GTP3) itu penting banget.
Tujuannya biar kementerian, lembaga, dan aparat gak kerja kayak band bubar jalan masing-masing main nada sendiri.
Tapi harus diakui, predator maya ini musuh lincah, bahkan super banget..
Mereka gak perlu izin rapat, gak butuh Perpres baru, tapi bisa langsung bergerak dan menyerang anak-anak yang lengah.
GTP3 harus jadi Avengers-nya dunia digital, tapi tentu bukan cuma gaya-gayaan.
Butuh koordinasi cepat, data real-time, dan aksi nyata.
Negara bisa bikin regulasi, tapi benteng utama tetap rumah, keluarga, dan perhatian orang tua.
Oleh karena itu, grooming bukan hal baru, cuma sekarang tampilannya lebih manis, semanis mangga yang jatuh ke tanah karena kematangan, pakai emoji hati, stiker lucu, dan kata “sayang”, I love you….
Jadi, harusnya anak-anak butuh teman, tapi mereka juga butuh penjaga.
Dan penjaga terbaik bukan aplikasi keamanan, tapi orang tua yang mau dengerin cerita anak sebelum denger gosip di WA grup.
Mulailah dari hal kecil dan sederhana, misal tanya, dengerin, dan pahami dunia mereka.
Karena predator masuk bukan lewat pintu rumah, tapi lewat rasa sepi dan keinginan anak untuk diterima.
Pepatah bilang “Air tenang jangan disangka tak ada buaya, hehehe, apalagi kalau sinyalnya full bar dan anakmu pakai headset sendirian”.
Jadi disaat teknologi makin canggih, tapi tanpa kewaspadaan, semuanya bisa berubah bahkan bisa jadi jebakan berlapis-lapis kode HTML-nya.
Oleh sebab itu, sebelum anak-anak kita di –grooming predator maya, mari kita grooming dulu cara berpikir dan perhatian kita sendiri.
Karena firewall terbaik bukan antivirus, tapi kasih sayang yang selalu online, bahkan tanpa jaringan.
Dan..anak -anak sekarang boleh kalah di rank, asal jangan kalah akal. Karena di dunia maya, “om-om baik” bisa lebih jago ngerayu daripada penyiar radio malam Minggu. Jadi yuk, kita upgrade bukan cuma kuota, tapi juga logika biar gak ada lagi anak yang kejebak di jebakan betmen versi online.
Apalagi predator digital itu ibarat ular sawah, diam-diam tapi tahu kapan harus melilit.
Kalau kita gak waspada, anak bisa jadi mangsa tanpa sempat menjerit.
Ingatlah lagi pepatah lama ini! “Jangan biarkan ayam kita berkeliaran di ladang serigala, cuma karena kandang kita sibuk update status”.[***]

























