Scroll untuk baca artikel
Ngakak

Keuangan :”Gaji Cepat Hilang, Tapi Cicilan Tak Pernah Lenyap”

×

Keuangan :”Gaji Cepat Hilang, Tapi Cicilan Tak Pernah Lenyap”

Sebarkan artikel ini
foto : ist/bi
  • Kenapa Gaji Cepat Hilang Setiap Bulan?

GAJI cepat hilang itu kayak cinta di awal bulan, datangnya cepat, perginya lebih cepat lagi. Baru gajian kemarin, hari ini saldo udah tinggal serpihan harapan. Siapa nih yang ngerasa sama?

Warung kopi di pojok kantor sore itu rame bukan main.
Asap rokok ngebul, obrolan ngalir, dan satu topik klasik muncul setiap akhir bulan gaji.

“Bro, baru tiga hari gajian, saldo udah kayak sinyal di kampung nggak stabil,” kata Roni sambil ngaduk kopi yang udah lebih banyak ampasnya daripada isinya.

Bowo, temennya, nyeletuk, “Lah, kamu aja. Aku sih stabil, Bro. Dari tanggal satu sampai tiga, habisnya stabil banget, rata-rata 100 persen per hari”

Semua ngakak, kalau ketawa bisa nyicil, mereka pasti udah lunas cicilan KPR dari dua tahun lalu.

Di warung kopi itu, teori ekonomi versi rakyat selalu lahir tiap sore.
“Uang itu kayak cinta, Bro. Kalau nggak dijaga, dia cepat pindah ke lain dompet,” kata Roni.

Bowo manggut-manggut, “Iya, sama juga kayak gaji. Datangnya ditunggu-tunggu, perginya nggak pamit”

Di pojok meja, Pak RT yang ikut nongkrong tiba-tiba nyeletuk, “Makanya, kalau gajian, bagi dulu buat kebutuhan pokok. Jangan kebanyakan kebutuhan sok”.

Petuah itu bijak banget. Sayang, langsung dikalahkan sama notif promo diskon 50% makanan Korea’ yang nongol di HP Roni.

Wah…, takdir harus dicicipi,” katanya, sambil checkout kimchi yang harganya hampir setara beras sekarung.

Datanglah Dono, si karyawan muda yang hidupnya diatur tanggal tagihan.

“Bro, aku heran. Cicilan itu kayak mantan, ya?”

“Kenapa?”
“Susah lepas, tapi tiap bulan masih aja nyedot energi dan saldo”

Mereka ngakak sampai kopi hampir tumpah.
Bowo menimpali,

“Kalau mantan, paling cuma nyedot perasaan. Kalau cicilan, nyedot masa depan”

Tiba-tiba semua hening.
Tawa berubah jadi tatapan kosong menatap rekening masing-masing di ponsel.

“Eh…, Wi-Fi-nya lemot ya?” tanya Roni.

“Nggak…, itu saldo kamu yang lambat merespons”

Dari balik meja, Bang Udin, sang barista lokal yang lulusan ‘Universitas Kehidupan’, ikut nimbrung.

“Kalian ini, kalau tiap bulan stres mikirin cicilan, artinya gaji kalian belum kenal sama maknanya”

Roni garuk kepala,

“Maksudnya, Bang?”

“Gaji itu kayak tamu, Bro. Kalau datang disambut heboh tapi nggak dikasih arah pulang, ya dia nginep di tempat yang salah”

Semua bengong, tapi dalem banget tuh kata-kata.

“Jadi, Bang, solusinya apa?”

“Simple. Catat pengeluaran. Kalau mau lebih hemat, beli barang yang kalian butuh, bukan yang kalian pengin pamerin di story”

Bowo nyeletuk,

“Tapi kalau nggak pamer, gimana orang tahu kita bahagia, Bang?”

“Bahagia itu nggak perlu like, Bro. Yang penting tagihan listrik masih kebayar”

Sore makin redup, kopi udah dingin, dan dompet makin tipis.
Mereka sepakat bahwa hidup itu bukan soal berapa besar gaji, tapi berapa lama bisa bertahan sebelum pinjam lagi.

Roni menatap langit-langit warung,

“Kadang gue iri sama uang, Bro”

“Kenapa?”
“Soalnya dia bisa hilang tanpa pamit, tapi tetap dicari dengan sepenuh hati”

Dono menghela napas panjang,

“Aku cuma mau hubungan kayak cicilan, Bro”

“Maksudnya?”
“Teratur, konsisten, dan diingat tiap bulan”

Semua ngakak.
Tapi di balik tawa itu, ada kenyataan getir,
bangsa ini bukan kurang uang, tapi kurang sabar nunggu tanggal muda.

Sebelum bubar, Bang Udin kasih kalimat penutup,

“Ingat, uang itu kayak tamu, Bro. Kalau nggak disambut dengan bijak, dia mampirnya sebentar. Tapi kalau tahu caranya, dia bisa sering balik”

Roni angkat cangkir,

“Jadi intinya, Bang, bukan cari gaji yang besar?”

“Bukan. Cari gaji yang tahan lama”

Semua angguk-angguk, walau di dalam hati mereka masih mikirin cicilan motor, kuota, dan tagihan paylater.

Akhirnya, mereka pulang dengan dua hal,
perut kenyang, dan dompet yang semakin filosofis.
Karena hidup ini, kata Bang Udin,

“Nggak perlu takut miskin, asal jangan miskin akal. Soalnya kalau akal ikut tekor, saldo nggak bakal pernah penuh”. [***]