Ngakak

Bakul Jamu & Aksara Nusantara Jadi Bintang Dunia!

×

Bakul Jamu & Aksara Nusantara Jadi Bintang Dunia!

Sebarkan artikel ini

NGOMONGIN jamu, jangan cuma kebayang minuman pahit nenek-nenek sebab  jangan salah, jamu itu ibarat tongkat sihir leluhur kita, sekali diminum, badan seger, jiwa ikut menari.

Di tengah hiruk-pikuk Jakarta, Taman Fatahillah yang klasik seperti lukisan hidup menjadi panggung Acaraki Jamu Festival edisi Hari Pahlawan, 16 November 2025. Di sini, jamu membuktikan dirinya bukan sekadar minuman, tapi simbol budaya, kreativitas, dan bahkan diplomasi budaya.

Bahkan waktu saya melihat bu’dhe gendong bakul jamu, yang kebetulan tetangga saya,  rasanya kayak nonton live performance “Indonesia banget”. Bahkan setelah membaca tema “Jamu Festival”  dilaman resmi milik ekraf  saya semakin kagum, karena festival itu jauh dari kesan kuno.

Menurut saya rahasianya sangat sederhana, yakni jamu tak lekang oleh waktu, sebab jamu bisa cepat beradaptasi tanpa kehilangan jati diri, bahkan muda diingat semua kalangan.  Kalau pepatah bilang “air tenang menghanyutkan”, jamu ini seperti airnya, tenang tapi pengaruhnya dahsyat banget bro..itulah jamu kita.

Wakil Menteri Ekonomi Kreatif, Irene Umar, dalam rilis ekraf itu terlihat santai dan bilang jamu adalah unique selling point Indonesia. Alasanya memang bukan cuma minuman, tapi sudah menjadi salah satu ikon yang bisa dibawa ke panggung Internasional.

Menurut saya festival  itu tak cuma menjual rasa, tapi juga menjual cerita, dari fashion show terinspirasi ibu jamu gendong, aksara nusantara, sampai musik modern. Semuanya jadi paket lengkap, bisa dikatakan “Indonesia kreatif”.

Kalau kata orang tua dulu ya, “sambil menyelam minum air”, sambil meneguk jamu kita bisa belajar budaya, seni, dan bahkan diplomasi.

Yang bikin  kagum lagi, festival ini punya funwalk 2,5 km sambil gendong bakul jamu. Bayangkan saja, orang dewasa jalan santai dengan bakul di punggung, disambut sorak-sorai pengunjung.

Kalau ditonton dari jauh, mirip lomba balap karung versi dewasa modern. Namun  di balik humor itu saya menilai tersimpan pesan moral yang cukup dalam, yaitu  warisan budaya itu berat dijaga, tapi kalau dijalani bersama, jadi ringan dan seru.

Bukan cuma itu, Acaraki bisa dikatakan memanfaatkan aksara nusantara sebagai media kreatif,  terlebih jika pengunjungnya, bisa menulis testimoni, ikut lomba mewarnai, atau main di area permainan tradisional.

Jadi bukan cuma lihat-lihat, tapi benar-benar engaged dalam budaya. Ini penting, karena budaya tanpa partisipasi sama dengan buku tebal yang berdebu di rak indah tapi mati. Di sinilah jamu jadi simbol, tradisi yang hidup, bahkan di tengah arus modernitas.

Kalau ditelisik lebih dalam, sisi ekonomi kreatifnya juga bikin kita tersenyum, sebab satu botol jamu saja bisa dikemas menjadi modern, dijual di kafe Instagramable, wow keren banget…bahkan jika bisa langsung dipromosikan dengan fashion ala ibu jamu gendong, ini bukan cuma soal minuman, tapi jadi branding budaya yang bisa jadi mesin ekonomi nasional.

Pepatah lama bilang itu, “sambil menyelam minum air, sambil jual budaya dapat duit”. cocok banget, akur kan!. Festival itu menurut saya, bisa menjadi laboratorium kecil bagi para pengusaha kreatif, karena mampu  menggabungkan heritage dengan inovasi tanpa kehilangan esensi.

Festival itu juga, bisa jadi diplomasi budaya terselubung. Dari Taman Fatahillah, cerita jamu menyebar ke dunia lewat media sosial, influencer, dan publikasi Internasional.

Oleh karena itu, saya menilai masyarakat Indonesia jangan heran, jika nanti orang luar negeri itu lebih tahu jamu daripada kopi instan. Apalagi pesan sangat jelas budaya yang dijaga bukan cuma milik kita, tapi bisa jadi duta yang membawa nama baik Indonesia ke seluruh penjuru dunia.

Apalagi dari sisi personal, festival itu, juga dapat mengajarkan satu hal, yaitu melestarikan budaya nggak harus serius atau formal. Bisa dilakukan dengan sederhana dan kocak, interaktif, tapi tetap sarat sejarah.

Dari ketukan alu di rempah, prosesi kereta kencana, sampai doorprize yang bikin anak-anak sumringah, sehingga semuanya mengingatkan warisan leluhur bisa dinikmati dan dibawa ke masa depan tanpa kehilangan rasa aslinya.

Jadi, kesimpulannya dari  Acaraki Jamu Festival itu, bukan sekadar pesta jamu atau panggung budaya biasa. Ini adalah manifesto kreatif Indonesia, yaitu tradisi bertemu inovasi, budaya jadi ekonomi, dan warisan jadi panggung global.

Nah, dari festival itu, bisa jadi renungan setidaknya kita bisa belajar dari ibu-ibu jamu gendong, sebab sederhana tapi berpengaruh, penuh cerita, dan punya daya tarik yang tak lekang oleh waktu.

Oleh sebab itu jangan meremehkan jamu, minum tradisional itu [jamu] bukan dikenal dan diyakini oleh leluhur hingga generasi sakarang ini bukan  untuk kesehatan saja. Karena memiliki sejarah yang panjang, jadi menjadi perjalanan sejarah Indonesia, sehingga patut dihargai, bahkan dari jamu ini bisa jadi kreativitas, dan mampu mempromosikan Indonesia ke dunia.

Meneguk jamu sambil tertawa melihat ibu-ibu gendong bakul, sambil menulis aksara nusantara, sambil menyaksikan fashion show kocak tapi estetik, di situlah esensinya ekonomi kreatif sejati.

Pepatah bilang lagi “Biar lambat asal selamat, tapi kalau kreatif, bisa cepat dan dikenal dunia!”. benar kan?.

Selamat datang di era di mana bakul jamu jadi ikon global, sehingga jamu tak pernah lagi dianggap kuno. Dari botol jamu itu, siapa tahu lahir ide kreatif berikutnya yang bikin Indonesia makin bersinar di mata dunia.[***]