Sumsel

KUHP Baru Diuji, Buku Tiga Akademisi Soroti Tantangan Perlindungan Perempuan dan Anak

×

KUHP Baru Diuji, Buku Tiga Akademisi Soroti Tantangan Perlindungan Perempuan dan Anak

Sebarkan artikel ini

BERITAPRESS.ID, PALEMBANG | Pemberlakuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru menandai babak penting dalam upaya perlindungan terhadap perempuan dan anak. Namun, perubahan norma hukum tersebut sekaligus menguji kesiapan aparat penegak hukum serta pemerintah daerah dalam menerjemahkan regulasi menjadi perlindungan nyata bagi kelompok rentan.

Isu tersebut mengemuka dalam peluncuran buku Realitas: Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak, Tantangan dan Harapan yang digelar di Palembang, Selasa (16/12). Buku ini disusun oleh tiga akademisi dan praktisi hukum perempuan, yakni Dr. Hj. Nurmalah, S.H., M.H., CLA; Dr. Ira Kharisma, S.H., M.Kn., C.Med; serta Dr. Henny Natasha Rosalina, S.I.Kom., S.H., M.H.

Para penulis menempatkan KUHP baru tidak sekadar sebagai pembaruan hukum pidana, melainkan sebagai instrumen koreksi atas praktik penegakan hukum yang selama ini dinilai belum sepenuhnya berpihak kepada korban kekerasan.

Sekretaris Daerah Provinsi Sumatera Selatan, Edward Candra, dalam sambutannya menegaskan bahwa regulasi perlindungan perempuan dan anak di daerah sejatinya telah tersedia. Namun, dengan berlakunya KUHP baru, pemerintah daerah dituntut melakukan penyesuaian kebijakan, termasuk penguatan kapasitas aparat dan sinkronisasi aturan turunan di tingkat daerah.

Salah satu perubahan penting dalam KUHP baru adalah pengakuan yang lebih luas terhadap berbagai bentuk kekerasan, tidak terbatas pada kekerasan fisik semata. Dr. Henny Natasha Rosalina menilai, pendekatan ini membuka ruang penegakan hukum terhadap kekerasan psikis, seksual, dan ekonomi yang selama ini kerap dianggap sebagai urusan privat.

“Negara kini memiliki dasar hukum yang lebih kuat untuk hadir dalam relasi domestik yang timpang,” ujarnya.

Meski demikian, perluasan norma hukum tersebut juga membawa tantangan tersendiri, terutama dalam hal pembuktian. Dr. Ira Kharisma mengingatkan bahwa tanpa perubahan perspektif aparat penegak hukum, KUHP baru berpotensi berhenti sebagai teks normatif belaka.

“Keberanian penyidik, jaksa, dan hakim dalam menafsirkan alat bukti akan menjadi penentu apakah pembaruan hukum ini benar-benar melindungi korban,” katanya.

Sementara itu, Dr. Hj. Nurmalah menekankan bahwa KUHP baru seharusnya memperkuat efek jera terhadap pelaku, bukan justru melanggengkan praktik impunitas. Ia menyoroti masih kuatnya hambatan struktural, seperti relasi kuasa dan stigma sosial, yang membuat korban enggan melapor.

“KUHP baru perlu dibarengi kebijakan perlindungan korban yang operasional, termasuk pendampingan hukum dan psikososial,” ujarnya.

Dari perspektif kebijakan publik, pemberlakuan KUHP baru menuntut sinergi lintas sektor antara aparat penegak hukum, pemerintah daerah, dan lembaga layanan korban. Tanpa koordinasi yang kuat, pembaruan hukum berisiko berhenti pada simbol reformasi, tanpa perubahan substantif di lapangan.

Peluncuran buku ini menegaskan bahwa KUHP baru bukanlah titik akhir reformasi hukum pidana, melainkan awal dari fase krusial implementasi. Bagi Sumatera Selatan, tantangannya bukan hanya menyesuaikan regulasi, tetapi memastikan perubahan hukum benar-benar diterjemahkan menjadi rasa aman bagi perempuan dan anak.

Lapoaran : Putra