Scroll untuk baca artikel
NgakakOtomatif

Otomotif, Si Anak Emas yang Tak Boleh ‘Masuk Angin’

×

Otomotif, Si Anak Emas yang Tak Boleh ‘Masuk Angin’

Sebarkan artikel ini
foto : kemenperin

KALAU ada sektor industri yang diperlakukan bak anak bungsu kesayangan keluarga, ya otomotif itu tadi. Sedikit demam langsung dikompres, baru batuk udah dilarikan ke klinik. Pemerintah sampai mau keluarkan insentif lagi untuk 2026. Kalau dipikir-pikir, sektor otomotif ini memang mirip kipas angin tua di ruang tamu, kalau macet sebentar saja, satu rumah bisa kepanasan berjamaah.

Menperin Agus Gumiwang sudah berkali-kali menegaskan bahwa otomotif tidak boleh dibiarkan ‘masuk angin’. Dan bener juga, wong industri ini bukan sekadar soal mobil kinclong nongkrong di showroom.

Di belakangnya ada ratusan ribu pekerja, bengkel yang buka dari Subuh sampai Isya, sampai pabrik komponen yang hidup-matinya ditentukan putaran roda industri. Seperti kata pepatah, “kalau gajah pilek, semut ikut bersin”. Nah, kalau otomotif kendor, ekonomi bisa ikut loyo.

Masalahnya, situasinya sedang serba njelimet. Daya beli domestik lagi nggak mesra-mesranya, pasar global juga kayak lagi LDR hubungan ada, tapi dingin. Penjualan mobil dan motor tersendat, ekspor naik turun macam sinyal Wi-Fi di kosan.

Pemerintah pun baca situasi ini dan mulai meracik lagi insentif untuk 2026. Katanya mirip paket diskon otomotif zaman Covid dulu, yang bikin penjualan naik kayak roti mengembang.

Tapi bedanya, sekarang dunia lagi serba cepat berubah, harga komoditas fluktuatif, geopolitik gampang meledak, dan industri lagi transisi ke kendaraan listrik.

Kalau dibiarkan tanpa vitamin, industri otomotif bisa meriang beneran. Karena itu Kemenperin lagi nggodok kebijakan fiskal yang bisa mendorong permintaan, bukan hanya menjaga produksi supaya pabrik tidak cuma jadi tempat burung walet bikin sarang.

Fokusnya jelas, melindungi pekerja biar tidak kena PHK, menjaga investasi Rp 174 triliun yang sudah telanjur mengendap, dan memastikan industri tetap punya masa depan di era elektrifikasi. Satu perumpamaan terakhir industri otomotif ini seperti motor tua yang masih kuat nanjak asal dikasih oli, jangan ditinggal pakai bensin oplosan.

Kalau mau membandingkan, negara lain juga sibuk memelihara ‘anak emas’ industrinya. Jepang, misalnya, ngasih keringanan pajak buat produsen EV sekaligus mendorong inovasi hybrid yang murah dan irit.

Mereka tahu pasar domestik menurun, tapi tetap jaga ekosistem industri agar tidak rontok. Amerika Serikat lewat Inflation Reduction Act kasih insentif gila-gilaan untuk pabrik baterai dan kendaraan listrik.

Produsen yang mau investasi langsung digelontor stimulus supaya tidak kabur ke negara lain. Thailand juga main agresif, diskon pajak untuk pembeli mobil listrik, subsidi langsung, sampai kemudahan impor komponen. Hasilnya? Mereka rebut pabrik dan investasi baru dari berbagai produsen global.

Ikut kompetisi

Lihat tiga contoh itu, kita bisa bilang bahwa dunia sedang masuk era “siapa paling rajin kasih insentif, dia yang dapet pabrik”. Mau tak mau Indonesia juga harus ikut kompetisi ini, tapi ya jangan asal-asalan.

Kebijakan insentif 2026 inilah seharusnya bukan cuma ‘ban serep darurat’, tapi strategi jangka panjang, sebab ada beberapa solusi yang  penting, pertama insentif harus jelas sasaran kalau mau mendorong kendaraan rendah emisi, dorong produk dalam negeri, bukan cuma memberi potongan untuk unit impor.

Kedua, pemerintah perlu bangun kepastian jangka panjang. Investor paling takut soal aturan berubah macam cuaca di puncak gunung sebentar cerah, sebentar badai. Ketiga, insentif harus menghidupkan rantai pasok, terutama UMKM komponen lokal, supaya nilai tambahnya tidak terbang ke luar negeri.

Otomotif itu sektor besar, tapi bukan berarti tidak bisa roboh kalau salah kelola. Jangan sampai raksasa industri ini malah gelagapan karena kebijakan telat atau separuh hati.

Insentif boleh saja, tapi harus disertai strategi, harus ada arah yang jelas, apakah kita ingin dominan di pasar EV, kuat di hulu baterai, atau tetap mempertahankan kombinasi kendaraan konvensional dan listrik?

Pada akhirnya, saya setuju bahwa otomotif tak boleh dibiarkan masuk angin, tapi jangan lupa, obat terbaik bukan sekadar vitamin sementara, melainkan pola hidup sehat industri yang konsisten.

Kalau 2026 jadi momentum memperkuat ekosistem otomotif Indonesia, insentif ini bisa jadi pengungkit besar. Tapi kalau tidak direncanakan matang, ya cuma jadi balsem hangat, enak sebentar, tapi tidak menyembuhkan.

Semoga pemerintah tidak hanya merawat anak emasnya, tapi juga mendidiknya jadi juara. Karena kalau otomotif kuat, ekonomi ikut punya tenaga buat ngebut. Kalau otomotif lemes, ya siap-siap saja negara ini boncengan sambil ngedorong motor di tanjakan.[***]