Perlindungan anak di ruang digital menjadi fokus utama audiensi antara pemerintah dan industri gim, jika hari ini Anda lewat di depan Kementerian Komunikasi dan Digital, jangan kaget kalau suasananya mirip turnamen gim besar. Bukan karena ada pemain Mobile Legends push rank di parkiran, tapi karena lebih dari 20 publisher gim global dan lokal tumplek-blek di ruang rapat.
Mulai dari Tencent, Garena, Megaxus, AGI, Agate, sampai nama-nama besar yang biasa kita lihat di konsol, seperti Nintendo dan Playstation. Tinggal Sonic dan Mario yang belum muncul buat foto bareng.
Semua datang bukan untuk duel atau unjuk jurus ulti, tetapi untuk hal yang jauh lebih serius perlindungan anak di ruang digital. Pemerintah memanggil, industri datang, dan akhirnya jadilah audiensi yang bahasanya lebih hangat dari ruang guru ketika RPP belum dikumpul.
Direktur Jenderal Pengawasan Ruang Digital, Alexander Sabar, membuka pertemuan dengan gaya yang kalem tetapi tegas. Ia bilang bahwa isu ruang digital, khususnya gim daring, lagi jadi perhatian pemerintah dan publik. Bahasa halusnya “Kita harus cepat dan terukur, tapi tetap ajak industri ngobrol. Biar aman, tapi inovasi jalan”.
“Anak-anak boleh jago main, tapi jangan sampai salah belok ke jurang digital yang tidak-tidak”.
Di era sekarang, anak kelas 2 SD saja sudah bisa bikin strategi mabar yang rumit. Namun sekaligus mereka juga paling gampang terpapar konten yang tak sesuai umur. Pemerintah pun merasa harus bergerak. Dalam dunia gim, istilahnya, saatnya naik level keamanan.
Di tengah diskusi, Alexander menjelaskan soal PP Nomor 17 Tahun 2025 atau PP TUNAS. Meskipun namanya lucu, mirip bibit tanaman di polybag, isinya bukan main-main.
Peraturan ini mengatur standar keamanan minimum untuk semua platform digital. Inilah tameng utama agar anak-anak tidak terseret ke konten berbahaya hanya karena salah klik atau penasaran.
Isinya mencakup verifikasi usia, pembatasan fitur berisiko tinggi, moderasi konten, parental control, hingga edukasi untuk orang tua. Jadi PP TUNAS bukan sekadar aturan, melainkan pagar tinggi yang dipasang agar anak-anak tetap bermain di halaman yang benar.
Para publisher yang hadir tampak mengangguk mantap. Mereka mengapresiasi keterbukaan pemerintah dan bilang siap mendukung implementasi PP TUNAS. Tidak ada drama, tidak ada patah hati. Semua kompak seolah sedang berada dalam satu guild yang misi utamanya menyelamatkan anak-anak dari konten toxic.
Salah satu topik seru dalam audiensi adalah hubungan antara PP TUNAS dan IGRS. Selama ini, banyak yang mengira dua sistem ini tumpang tindih. Padahal kenyataannya mereka seperti pasangan yang saling melengkapi.
PP TUNAS menjaga keamanan, mengatur pagar, dan memastikan fitur berisiko tidak sembarang terbuka, dan IGRS bertugas menentukan usia yang cocok untuk sebuah gim, mulai dari 3+, 7+, 13+, sampai 18+.
Kalau diibaratkan rumah, PP TUNAS adalah pintu utama yang ada gemboknya, sementara IGRS adalah label kamar anak, kamar remaja, atau kamar dewasa. Jadi publisher tidak perlu bingung karena keduanya bekerja sama, bukan saling berebut fungsi.
Publisher bahkan bilang mereka senang aturan diperjelas. Katanya, makin jelas aturan, makin tenang mereka mengembangkan gim. Tidak ada lagi adegan salah baca regulasi yang biasanya bikin kening berlipat seperti pemain baru baca patch note.
Dalam audiensi, berbagai perusahaan gim menyatakan siap ikut dalam program literasi digital. Mereka ingin membantu orang tua memahami cara mengawasi anak tanpa harus berubah jadi detektif 24 jam. Bahkan AGI bilang siap aktif bikin panduan, kampanye, sampai kelas edukasi.
Ini kabar bagus. Sebab selama ini banyak orang tua yang kalah canggih dari anak. Mereka hanya tahu tombol power, sementara anak mereka tahu cara beli item tanpa kartu kredit.
Komdigi juga memaparkan rencana tindak lanjut. Termasuk rapat teknis lanjutan, penyusunan roadmap moderasi konten gim, pembaruan modul literasi digital, sampai pembentukan Pokja bersama. Kalau di dunia gim, ini semacam tim Avengers versi kebijakan digital.
Tujuannya satu memastikan perlindungan anak bukan hanya omongan, tapi kenyataan.
Direktur Jenderal Alexander menegaskan bahwa pemerintah tidak ingin menahan laju industri gim. Pemerintah hanya ingin memastikan perkembangan digital tetap aman, bertanggung jawab, dan tidak menjerumuskan generasi masa depan ke ruang gelap dunia maya.
Bahasa sederhananya “Silakan bikin gim sekreatif mungkin, tapi jangan sampai anak kami berubah jadi Thanos kecil-kecilan”.
Oleh karena itu, audiensi antara pemerintah dan para publisher gim membuktikan bahwa perlindungan anak menjadi prioritas bersama. Melalui PP TUNAS dan IGRS, arah kebijakan semakin jelas. Industri tidak keberatan, pemerintah terbuka, dan semua setuju bergerak serempak.
Jadi, dalam dunia digital yang semakin cepat, anak-anak butuh perlindungan, bukan larangan membabi buta. Seperti pepatah,
“Kalau perahu ingin selamat, nakhoda dan awak harus bekerja sama”
Begitu juga dengan ruang digital. Pemerintah, industri, orang tua, dan sekolah harus kompak. Karena menjaga anak hari ini berarti menjaga masa depan negeri.[***]

























