Scroll untuk baca artikel
Ngakak

Rendang Diplomacy, Kemenpar Taklukkan Lidah Malaysia

×

Rendang Diplomacy, Kemenpar Taklukkan Lidah Malaysia

Sebarkan artikel ini
foto : Kemenpar

Strategi pelancongan selera yang buat warga Malaysia jatuh cinta sebelum sempat sebut “sedap, weh!”

DIPLOMASI  antarnegara biasanya pakai meja perundingan dan pena tanda tangan, namun Kementerian Pariwisata (Kemenpar) punya gaya berbeda, apa ?, mereka bawa sendok dan wajan.
Bumbunya bukan janji politik, tapi santan, cabai, dan daun kunyit.
Dan kali ini, sasaran empuknya bukan siapa-siapa melainkan lidah orang Malaysia.

Ya, inilah yang disebut rendang diplomacy.
Strategi paling gurih Kemenpar untuk menaklukkan hati (dan perut) wisatawan mancanegara lewat rasa yang tak bisa dibantah. Karena kadang, lidah jauh lebih jujur daripada mulut.

Akhir Oktober lalu, Kemenpar menggelar Familiarization Trip (Famtrip) bertajuk “Wonderful Indonesia Journey” buat tujuh agen perjalanan (TA/TO) asal Kuala Lumpur.
Mereka diajak jalan-jalan ke Padang, Bukittinggi, sampai Alahan Panjang  bukan cuma buat foto di Jam Gadang, tapi juga buat “menyelam” ke dunia kuliner dan budaya Minangkabau.

Kegiatan ini bukan jalan-jalan iseng, tapi misi diplomasi kuliner terselubung.
Deputi Bidang Pemasaran Kemenpar, Ni Made Ayu Marthini, menjelaskan bahwa Famtrip ini bagian dari strategi menarik wisatawan Malaysia agar makin cinta Indonesia, terutama Sumatera Barat.

“Wisatawan asal Malaysia itu kontributor terbesar kunjungan wisman ke Indonesia. Hingga Agustus 2025 sudah ada 1,68 juta wisatawan Malaysia yang datang,” ujarnya.
Bahasanya formal, tapi pesannya sederhana: kalau sudah jatuh cinta lewat rendang, susah move on ke tempat lain.

Jangan remehkan kekuatan sepiring rendang.
Bagi orang Indonesia dan Malaysia, rasa gurih pedas itu bukan cuma urusan perut, tapi juga urusan identitas.
Kalau politik bisa memisahkan dua negara, rendang bisa menyatukan dengan sekejap.

Misalnya tujuh agen tur Malaysia duduk di meja makan Hotel Pangeran Beach Padang, suapan pertama belum masuk mulut sudah tercium aroma santan dan rempah yang menari-nari.
Begitu suapan pertama mendarat selesai sudah.
“Sedap, weh!” kata salah satu agen, sambil ngelap keringat dan minta tambah nasi.

Nah, di situlah diplomasi bekerja tanpa perlu paspor.
Kemenpar paham betul sebelum mereka jual ‘visit Indonesia’ lebih baik jual coba dulu rendangnya,
Sebab dari dapur bisa lahir hubungan lintas batas yang lebih langgeng daripada dari podium konferensi.

Kalau Hollywood punya Tom Cruise, Indonesia punya rendang brand ambassador yang nggak pernah minta honor, tapi selalu sukses bikin nama Indonesia harum (secara harfiah).
Bukan cuma di Malaysia, tapi sampai ke London, Tokyo, dan New York, rendang jadi duta besar rasa yang tak tergantikan.

Kemenpar tahu betul kekuatan ini.
Lewat pendekatan gastronomi tourism, kuliner lokal seperti rendang, sate padang, sampai dendeng balado, dijadikan magnet wisata.
Konsepnya sederhana tapi efektif, orang datang karena lapar mata, tinggal karena lapar hati.

“Selain destinasi, kami juga perkenalkan unique interests seperti gastronomi dan wastra nusantara,” kata Dedi Ahmad Kurnia, Asisten Deputi Pemasaran Mancanegara I.
Artinya, wisata bukan cuma soal pemandangan, tapi juga pengalaman rasa dan budaya.

Dan memang, siapa yang bisa menolak tawaran wisata yang diakhiri dengan sepiring rendang dan segelas teh talua?

Strategi ini bukan asal bumbu, tapi hitungan matang.
Dalam dunia pariwisata, makanan punya efek domino luar biasa.
Begitu wisatawan tergoda lidah, langkah berikutnya tinggal beli tiket.

Coba lihat data Kemenpar tahun 2024, wisatawan Malaysia menempati posisi pertama kunjungan ke Sumbar,  total 60.894 kunjungan.
Angka ini bukan datang begitu saja, tapi hasil dari koneksi emosional dan gastronomi.
Pendeknya, ketika lidah sudah klik, dompet akan ikut klik juga.

Makanya, Kemenpar sengaja menggelar mini tabletop antara pelaku pariwisata Sumbar dan agen Malaysia.
Tujuannya sederhana, dari ngobrol-ngobrol sambil makan bisa lahir kerja sama bisnis yang lebih gurih dari kontrak biasa.

Program Wonderful Indonesia Journey ini bagian dari kampanye global Kemenpar bertajuk #GoBeyondOrdinary. Kesan “beyond ordinary” bukan berarti harus naik helikopter ke gunung atau menyelam di laut dalam.

Kadang, “beyond ordinary” itu sesederhana mencicipi rendang di tanah kelahirannya, karena versi aslinya selalu lebih sakti daripada replika.

Kemenpar tahu, kalau mau promosi ke Malaysia, jangan bicara jarak atau harga tiket, tapi bicara rasa.
Jarak dekat, bahasa mirip, budaya serumpun, semua faktor itu seperti garam dan gula yang sudah cocok di resep promosi.
Tinggal tambahkan sedikit sambal balado, jadilah kolaborasi rasa dua bangsa.

Di balik bumbu dan santan itu, sebenarnya terselip filosofi diplomasi yang dalam.
Karena Rendang dimasak dengan kesabaran,  api kecil, waktu panjang, hasil sempurna.
Begitu pula hubungan antarnegara dan antarbudaya, tak bisa instan.
Kalau api terlalu besar, gosong; kalau kurang sabar, daging masih alot.
Dan di situlah Kemenpar bermain menjaga api tetap kecil tapi nyala terus.

Rendang mengajarkan bahwa kesempurnaan butuh waktu, dan cita rasa besar lahir dari proses panjang.
Mungkin itu juga pesan moral dari strategi Kemenpar bangun pariwisata bukan cuma lewat promosi cepat, tapi lewat pengalaman mendalam yang membekas di hati wisatawan.

Kalau ditelaah, strategi rendang diplomacy ini punya tiga lapis “rasa” yang cerdas, pertama rasa emosional – makanan sebagai pemantik kenangan dan kedekatan budaya.
Malaysia dan Indonesia punya akar serumpun, jadi rasa jadi jembatan identitas.

Kedua rasa ekonomi – wisata kuliner terbukti meningkatkan spending wisatawan.
Orang yang datang buat makan, biasanya belanja juga. Ketiga rasa strategis – promosi gastronomi lebih halus daripada iklan. Kalau iklan bisa di-skip, aroma rendang tidak bisa diabaikan.

Pendek kata, diplomasi di dapur jauh lebih efektif daripada seminar Internasional yang isinya cuma tepuk tangan.

Kemenpar mungkin tidak sadar, tapi langkah kecil mengajak turis Malaysia ke Padang adalah bentuk soft power baru Indonesia.


Rendang bukan cuma makanan, tapi juga bahasa universal yang menyatukan.
Dari meja makan, terjalin keakraban, dari keakraban lahir kepercayaan, dari kepercayaan muncul kunjungan berulang.

Dan kalau kunjungan terus naik, siapa tahu nanti Malaysia bukan cuma langganan wisatawan, tapi juga mitra promosi rasa Nusantara ke dunia.

Karena, siapa yang bisa menolak ajakan wisata yang berawal dari kata “jom makan rendang, weh!”

Jadi, Kemenpar tampaknya paham betul pepatah lama “Kalau mau menaklukkan hati, taklukkan dulu perutnya”

Famtrip ke Sumbar mungkin cuma lima hari, tapi efeknya bisa bertahun-tahun.
Begitu agen tur Malaysia pulang dengan lidah yang masih teringat rasa rendang asli Padang, separuh misi sudah berhasil.

Sisanya tinggal menunggu tiket pesawat berikutnya dipesan.

Jadi, kalau nanti wisatawan Malaysia makin banyak datang ke Indonesia, jangan heran.
Bukan karena iklan besar di bandara, tapi karena ada sepiring rendang yang sudah lebih dulu memenangkan hati mereka.
Begitulah cara paling lezat menumbuhkan pariwisata lewat sendok, bukan slogan.[***]