Scroll untuk baca artikel
Gaya Hidup

Jebakan Validasi Digital, Menguak Obsesi Kita pada Like dan Share di Media Sosial

×

Jebakan Validasi Digital, Menguak Obsesi Kita pada Like dan Share di Media Sosial

Sebarkan artikel ini

BERITAPRESS.ID | Di era digital ini, media sosial telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari. Dari saat bangun tidur hingga kembali ke tempat tidur, notifikasi terus berdatangan, feed selalu diperbarui, dan jutaan konten hadir di layar kita. Di tengah hiruk pikuk itu, dua metrik kecil namun berpengaruh besar muncul sebagai penentu: tombol Like dan Share.

Sejak awal kemunculannya, tombol Like hanya dimaksudkan sebagai bentuk apresiasi sederhana. Namun, seiring berkembangnya platform seperti Facebook, Instagram, dan TikTok, fitur ini menjelma menjadi tolok ukur popularitas, daya tarik, bahkan kesuksesan seseorang. Postingan dengan banyak likes dan shares memunculkan sensasi kepuasan instan, yang tidak lepas dari mekanisme psikologis yang sengaja dirancang oleh para pengembang platform.

Setiap notifikasi dan tanda hati yang muncul memicu pelepasan dopamin di otak—zat kimia yang berkaitan dengan rasa senang dan motivasi. Hal ini menciptakan siklus adiktif: pengguna membuat konten, menunggu respons, menerima dopamin, lalu ingin mengulanginya lagi.

Fenomena ini berkaitan erat dengan kebutuhan dasar manusia akan penerimaan dan pengakuan. Dalam kehidupan nyata, kita mencari validasi dari teman, keluarga, dan lingkungan. Di dunia maya, likes dan shares menjadi wujud modern dari pengakuan itu.

Selain itu, teori perbandingan sosial turut memperkuat dorongan tersebut. Media sosial menjadi etalase kehidupan orang lain, memicu rasa ingin menampilkan versi terbaik diri kita, meskipun tidak selalu realistis. Ketakutan akan ketinggalan (FOMO) semakin mendorong pengguna untuk aktif memposting demi tetap dianggap hadir dalam lingkaran sosialnya.

Dampak dari fenomena ini mulai terlihat. Riset menunjukkan keterkaitan antara penggunaan media sosial berlebihan dengan meningkatnya kecemasan, depresi, serta menurunnya harga diri. Banyak orang mulai kehilangan orisinalitas karena terlalu mengkurasi kehidupan demi terlihat sempurna. Perbandingan sosial yang terus-menerus pun mengikis rasa percaya diri, sementara hubungan di dunia nyata tergeser oleh pencarian validasi digital. (*)