Scroll untuk baca artikel
Sastra

Rumah Tua yang Menyimpan Dendam

×

Rumah Tua yang Menyimpan Dendam

Sebarkan artikel ini

Kisah Pemuda Skeptis dan Roh Sari

BERITAPRESS.ID | Duta, seorang pemuda urban yang skeptis, tidak pernah percaya pada hal-hal gaib. Baginya, logika dan sains adalah satu-satunya kebenaran. Namun, keyakinan itu goyah ketika ia harus kembali ke kampung halamaya di pelosok Jawa Barat, mengurus peninggalan satu-satunya dari almarhum kakeknya: sebuah rumah tua bergaya kolonial yang telah kosong belasan tahun. Rumah itu berdiri kokoh, namun diselimuti aura usang, dengan cat mengelupas dan lumut merambat di dinding-dindingnya.

Kedatangan Duta bukan tanpa alasan. Ia diminta pamannya untuk membersihkan dan merapikan rumah itu, siapa tahu bisa dijual. “Sudah terlalu lama kosong, Dut. Banyak kenangan di sana, tapi juga banyak hal yang mungkin perlu dibuang,” pesan pamaya via telepon, dengan nada yang entah mengapa terdengar sedikit tegang.

Begitu masuk, bau apek dan debu tebal langsung menyergap indra penciuman Duta. Jendela-jendela besar tertutup rapat, menghalangi cahaya matahari masuk, menciptakan suasana temaram yang mencekam. Duta menghela napas, merasa tugas ini akan sangat membosankan. Ia mulai dengan membuka jendela di ruang tamu, membiarkan sedikit cahaya dan udara segar masuk. Saat itulah, ia merasakan hawa dingin yang menusuk, seolah ada seseorang berdiri tepat di belakangnya. Duta menoleh cepat, tapi tidak ada siapa-siapa. Ia mengedikkan bahu, menganggap itu hanya efek dari perbedaan suhu.

Bisikan dan Penampakan Sekilas

Malam pertama Duta menginap di rumah itu adalah awal dari segalanya. Ia memilih kamar di lantai dua yang paling bersih, meskipun tetap terasa dingin. Tengah malam, saat ia mencoba memejamkan mata, sayup-sayup ia mendengar suara bisikan dari lantai bawah. Itu bukan bisikan manusia, lebih seperti gumaman angin yang membawa kata-kata tak jelas. Duta bangkit, menyalakan senter ponselnya, dan perlahan menuruni tangga. Suara itu menghilang begitu ia tiba di lantai bawah. Ia memeriksa dapur, ruang makan, dan ruang tamu. Semua gelap dan kosong.

“Mungkin hanya imajinasiku saja,” gumamnya, mencoba menenangkan diri. Namun, saat ia berbalik hendak kembali ke kamar, sudut matanya menangkap siluet putih melintas di ujung koridor, menghilang di balik pintu kamar tidur utama yang terkunci. Jantung Duta berdegup kencang. Ia tahu betul pintu itu terkunci dari luar, dan kakeknya selalu melarang siapapun masuk ke kamar itu selama ia hidup.

Keesokan harinya, Duta mencoba mengabaikan kejadian malam itu. Ia fokus membersihkan gudang belakang. Saat ia sedang menyapu, sebuah foto tua terjatuh dari rak tinggi. Foto itu menunjukkan seorang wanita muda berambut panjang, dengan wajah pucat dan mata kosong, mengenakan gaun putih kuno. Di balik foto, tertulis tanggal daama: “Sari, 1947.” Duta tidak pernah melihat wanita ini dalam album keluarga manapun. Ia menyimpan foto itu di sakunya, merasa aneh.

Misteri di Loteng Tua dan Kamar Terkunci

Teror semakin menjadi-jadi di malam-malam berikutnya. Duta sering terbangun oleh suara dentingan piano dari ruang musik di lantai bawah, padahal piano itu sudah berkarat dan tak mungkin berbunyi. Terkadang, ia mencium aroma melati yang kuat, kemudian diikuti bau amis darah yang menyeruak. Puncaknya, Duta mendengar suara langkah kaki berat di loteng atas, padahal loteng itu sudah lama tak terjamah dan tangga aksesnya sudah rapuh.

Rasa penasaran mengalahkan rasa takut Duta. Ia memutuskan untuk mencari tahu asal muasal suara-suara itu. Setelah berhasil mencongkel pintu loteng yang hampir roboh, ia menemukan sebuah kotak kayu tua yang terkunci rapat di pojok. Saat Duta membukanya, ia menemukan tumpukan surat-surat lama, sebuah jepit rambut kuno, dan sebuah buku harian lusuh. Buku harian itu milik Sari, wanita di foto yang ia temukan.

Isi buku harian itu menceritakan kisah tragis. Sari adalah tunangan kakek Duta, seorang gadis malang yang dipaksa menikah dengan pria lain oleh keluarganya demi harta. Ia bunuh diri di kamar tidur utama pada malam sebelum pernikahaya yang tidak ia inginkan, tepatnya pada tahun 1947, tahun yang tertera di belakang foto. Jasadnya ditemukan di dalam lemari tua di kamar itu, yang kini terkunci rapat.

Sari menuliskan betapa ia mencintai kakek Duta dan tidak ingin dinikahkan dengan pria lain. Baris terakhir di buku harian itu berbunyi: “Aku akan selalu menunggu di sini, di rumah ini, sampai cinta sejatiku kembali menjemput. Jangan biarkan siapapun menggantikan tempatku.”

Teror Malam Puncak

Malam itu, setelah membaca buku harian Sari, Duta merasa merinding sampai ke tulang. Ia mengerti mengapa kakeknya tak pernah menjual rumah ini, dan mengapa kamar utama selalu terkunci. Kakeknya, mungkin, tahu keberadaan Sari. Saat Duta mencoba membuka pintu kamar utama, terdengar suara geraman rendah dari dalam. Udara di sekitarnya menjadi sangat dingin, dan Duta bisa merasakaapas dingin menyentuh tengkuknya.

“Jangan… sentuh… kamarku!” Suara itu parau, berbisik tepat di telinganya. Duta terlonjak mundur, jatuh terduduk. Di celah bawah pintu kamar, ia melihat bayangan hitam memanjang, seolah tangan kurus sedang mencoba menggapainya dari dalam.

Duta bangkit dan berlari keluar dari rumah itu tanpa menoleh. Ia tidak peduli lagi dengan barang peninggalan kakeknya. Yang ia inginkan hanyalah lari sejauh mungkin dari rumah yang menyimpan dendam tak berkesudahan itu. Ia tidak pernah kembali. Rumah tua itu tetap berdiri, sepi, dengan kamar utama yang terkunci rapat, menanti cinta yang tak pernah kembali, dan roh Sari yang tetap setia menjaga tempatnya.

Kisah Duta di rumah peninggalan kakeknya menjadi pengingat bahwa tidak semua misteri dapat dijelaskan oleh logika semata. Beberapa tempat menyimpan kenangan, emosi, dan energi yang begitu kuat sehingga mampu melampaui batas dimensi, menciptakan fenomena supranatural yang tak terduga. Rumah tua itu bukan hanya sekedar bangunan, melainkan sebuah saksi bisu dari kisah cinta dan tragedi, yang terus hidup melalui bisikan dan penampakan dari masa lalu. Duta, si pemuda skeptis, akhirnya harus mengakui bahwa ada hal-hal di dunia ini yang jauh melampaui pemahamaya. (*)

Sastra

Penulis : Anto Narasoma orang-orangan sawah adalah kebohongan…

You cannot copy content of this page