Scroll untuk baca artikel
Sastra

Cinta Terpisah Benua: Kisah Anya dan Rio

×

Cinta Terpisah Benua: Kisah Anya dan Rio

Sebarkan artikel ini

BERITAPRESS.ID | Kisah cinta Anya dan Rio selalu menjadi narasi tentang pilihan sulit dan komitmen yang tak tergoyahkan. Di Bagian 3, kita menyaksikan keputusan besar mereka: Rio menerima tawaran pekerjaan impian di London, sementara Anya memilih untuk tetap di Jakarta, melanjutkan mimpinya sendiri. Sebuah janji setia terucap di tengah beratnya perpisahan, menandai dimulainya babak baru yang penuh tantangan: hubungan jarak jauh.

Melangkah dalam Jarak

Dua bulan telah berlalu sejak Rio terbang melintasi benua, meninggalkan gema tawa dan pelukan hangat yang kini hanya bisa Anya rasakan melalui layar ponsel. Awalnya, euforia komunikasi digital terasa menyenangkan. Panggilan video setiap malam, pesan singkat yang menceritakan setiap detail hari, dan kiriman foto acak yang mencoba mendekatkan dua dunia yang terpisah. Anya dan Rio berusaha keras membuat segalanya terasa normal, seolah jarak itu hanyalah ilusi.

Namun, perlahan tapi pasti, realitas mulai menyergap. Perbedaan zona waktu menjadi musuh utama. Saat Anya baru pulang kerja dan ingin bercerita, Rio sudah mengantuk di sana. Saat Rio bersemangat menceritakan pencapaiaya di kantor baru, Anya mungkin sedang sibuk rapat. Momen-momen spontan yang dulu tak terhingga kini harus dijadwalkan, terasa kaku dan kadang justru memicu rasa frustrasi.

Ujian Waktu dan Zona

Rindu bukanlah satu-satunya ujian. Kekosongan fisik mulai meninggalkan jejak. Anya merindukan sentuhan Rio, pelukan yang menenangkan, atau bahkan sekadar kehadiran fisiknya saat menonton film di sofa. Rio pun merasakan hal yang sama. London yang ramai terasa dingin tanpa kehangatan Anya di sisinya. Mereka mencoba mengisi kekosongan itu dengan video call yang lebih panjang, dengan janji-janji untuk mengunjungi, namun jarak tetaplah jarak. Ada batasan yang tak bisa ditembus oleh koneksi internet tercepat sekalipun.

Suatu malam, ketegangan itu memuncak. Rio, yang kelelahan setelah hari yang panjang dan buruk di kantor, menelepon Anya. Anya, yang baru saja menerima kabar buruk tentang proyeknya, juga sedang di ambang batas kesabaran. Komunikasi mereka terasa hambar, tanpa empati yang biasanya selalu ada. Rio mengeluh tentang pekerjaaya, Anya merasa Rio tidak mendengarkan keluhaya. Frustrasi pun berubah menjadi nada suara yang tajam, lalu hening yang dingin.

Badai Kecil di Layar Kaca

“Kamu nggak mengerti, Rio. Ini nggak gampang buatku di sini!” suara Anya pecah, menahan tangis. “Aku butuh kamu di sini, bukan cuma lewat layar.”

Rio menghela napas berat dari seberang. “Aku juga kesepian, Anya! Kamu pikir aku senang sendirian di sini? Aku datang ke sini demi masa depan kita!”

Kata-kata itu melukai. Malam itu berakhir tanpa ucapan selamat malam, hanya sambungan telepon yang terputus sepihak. Keesokan harinya, pesan-pesan singkat hanya berisi pertanyaan formal, tanpa emotikon, tanpa canda. Sebuah dinding tak kasat mata mulai terbangun di antara mereka.

Anya menghabiskan hari-harinya dalam kemurungan. Ia bertanya-tanya, apakah cinta mereka cukup kuat untuk menghadapi ini? Apakah pengorbanan ini sepadan? Keraguan mulai menyelinap, bisikan-bisikan halus yang mengikis keyakinan. Rio pun merasakan hal yang sama. Ia melihat pasangan lain di London yang berbagi setiap momen, dan rasa iri itu menusuknya.

Menemukan Kembali Akar Cinta

Namun, di tengah badai kecil itu, ada satu hal yang tak bisa mereka pungkiri: mereka masih saling mencintai. Rasa sakit akibat pertengkaran itu jauh lebih besar daripada rasa marah itu sendiri. Setelah dua hari yang terasa seperti keabadian, Rio memberanikan diri menelepon Anya lagi, kali ini dengaada yang lebih lembut.

“Anya… maafkan aku,” suaranya serak. “Aku tahu aku salah. Aku terlalu egois semalam. Aku hanya… aku merindukanmu sekali.”

Anya tak kuasa menahan air matanya yang tumpah. “Aku juga minta maaf, Rio. Aku seharusnya lebih memahami posisimu. Aku hanya… takut.”

Mereka berbicara panjang lebar malam itu, tidak hanya tentang pertengkaran mereka, tetapi juga tentang ketakutan, harapan, dan janji yang telah mereka buat. Mereka menyadari bahwa LDR bukanlah hanya tentang kesabaran, tetapi juga tentang komunikasi yang jujur, empati, dan kemampuan untuk mengakui kerapuhan. Mereka memutuskan untuk lebih transparan tentang perasaan mereka, bahkan yang tidak menyenangkan sekalipun.

Jaminan Masa Depan yang Jauh

Sejak malam itu, ada perubahan kecil namun signifikan dalam hubungan mereka. Mereka belajar untuk lebih menghargai setiap panggilan, setiap pesan. Mereka mulai merencanakan ‘kencan virtual’ yang lebih kreatif, seperti menonton film yang sama secara bersamaan atau memasak resep yang sama sambil melakukan panggilan video. Mereka juga menetapkan tujuan baru: Anya akan mengunjungi Rio pada musim panas, sebuah target konkret yang memberi mereka harapan dan sesuatu untuk dinantikan bersama.

Perjalanan cinta Anya dan Rio masih panjang, terbentang melintasi benua dan zona waktu. Bagian 4 ini mungkin telah mengajarkan mereka tentang kerasnya jarak, tetapi juga mengukuhkan satu hal: bahwa cinta sejati bukanlah tentang kedekatan fisik semata, melainkan tentang ikatan hati yang tak tergoyahkan, bahkan ketika raga terpisah jauh. Mereka tahu akan ada badai lain di masa depan, tetapi kini mereka lebih siap, dengan keyakinan bahwa bersama, mereka bisa melewati apa pun.

Kisah Anya dan Rio di Bagian 4 menunjukkan realitas pahit manis hubungan jarak jauh. Meskipun diuji oleh perbedaan waktu, kesepian, dan kesalahpahaman, mereka berhasil menemukan kembali fondasi cinta dan komitmen mereka. Pembelajaran paling berharga adalah pentingnya komunikasi yang jujur dan empati. Jarak mungkin memisahkan raga, tetapi tidak mampu memutuskan ikatan hati yang telah terjalin kuat, membuktikan bahwa cinta sejati dapat bertahan, bahkan di tengah samudera luas yang membentang. (*)