Scroll untuk baca artikel
Sastra

Melodi Hati yang Menyatukan, Titik Balik Kisah Arya dan Clara

×

Melodi Hati yang Menyatukan, Titik Balik Kisah Arya dan Clara

Sebarkan artikel ini

BERITAPRESS.ID | Mentari sore merayap perlahan, mewarnai langit Jakarta dengan semburat jingga keemasan. Di sebuah kafe berkonsep taman di atap gedung, Clara duduk gelisah, jemarinya memilin tepi cangkir teh chamomile yang sudah separuh dingin. Debaran di dadanya bukan karena kafein, melainkan antisipasi akan pertemuan yang telah lama ia hindari. Pertemuan dengan Arya.

Pertemuan di Sudut Kenangan

Suara lonceng pintu bergemerincing pelan, dan langkah kaki yang familiar mendekat. Clara mengangkat pandangaya. Arya berdiri di sana, senyum tipis di wajahnya yang tampan, namun tersirat sebuah kegugupan yang serupa dengaya. Sudah tiga bulan sejak insiden itu, sejak kesalahpahaman besar yang membuat mereka terpisah, menggantungkan tanda tanya besar pada kisah cinta yang mereka kira sudah tak terpisahkan.

“Clara,” sapanya lembut, suaranya sedikit serak. Ia menarik kursi di hadapan Clara, aroma parfum maskuliya yang khas langsung membangkitkan kenangan yang berusaha Clara kubur dalam-dalam.

“Arya,” balas Clara, suaranya nyaris berbisik. Hening merayap di antara mereka, dipenuhi oleh melodi jazz yang mengalun samar dan bisikan angin sore. Clara menunduk, menghindari tatapan mata Arya yang selalu mampu membaca setiap inci perasaaya.

“Aku tahu ini mungkin terlambat,” Arya memulai, suaranya kini lebih mantap, “tapi aku merasa kita harus bicara. Tentang apa yang terjadi. Tentang kita.”

Pengakuan dan Penyesalan

Arya menghela napas panjang, menatap Clara dengan sorot mata penuh penyesalan. “Aku tahu aku sudah melakukan kesalahan besar, Clara. Kebodohanku, kecemburuanku yang tidak berdasar… itu menghancurkan kepercayaan yang sudah kita bangun. Aku minta maaf. Dari lubuk hatiku yang terdalam.”

Clara masih diam, namun dadanya terasa sesak. Kata-kata “maaf” itu, yang ia dambakan selama ini, kini terasa berat dan manis secara bersamaan. Ia ingat malam itu, pertengkaran hebat yang dipicu oleh kesalahpahaman sepele, namun melebar menjadi jurang tak terlihat yang memisahkan mereka.

“Aku menyadari betapa bodohnya aku setelah kau pergi, Clara,” lanjut Arya, suaranya kini dipenuhi kesedihan. “Hidupku terasa hampa. Setiap tempat, setiap lagu, setiap tawa… semuanya mengingatkanku padamu. Aku mencoba melupakan, mencoba melanjutkan, tapi tidak bisa. Aku terlalu mencintaimu.”

Arya meraih tangan Clara di atas meja, jemarinya yang hangat dan kuat menggenggam erat. Clara tidak menariknya. Sentuhan itu seperti percikan api kecil yang membangkitkan semua rindu yang selama ini ia tahan. “Aku sudah merenungkan banyak hal. Aku belajar, Clara. Belajar untuk tidak membiarkan emosi sesaat menguasai, belajar untuk lebih percaya, belajar untuk lebih menghargai. Aku tahu butuh waktu, mungkin sangat lama, untuk membangun kembali kepercayaan itu. Tapi aku siap. Aku akan menunggu, akan berusaha sekeras yang kubisa.”

Melodi Hati yang Kembali Bergaung

Air mata Clara mulai menggenang. Bukan air mata kesedihan, melainkan kelegaan. Ia tahu, Arya memang melakukan kesalahan, kesalahan yang menyakitkan. Namun, ketulusan di matanya, kerentanan dalam suaranya, dan penyesalan yang mendalam itu… adalah apa yang Clara butuhkan. Ia melihat Arya yang baru, Arya yang lebih dewasa, yang berani mengakui kesalahaya dan berjanji untuk berubah.

“Arya,” kata Clara, suaranya bergetar. “Aku… aku juga tidak bisa melupakanmu. Setiap hari, ada bagian diriku yang merindukanmu, merindukan kita.” Ia mengangkat pandangaya, tatapan mereka bertemu. “Sulit, Arya. Sangat sulit.”

“Aku tahu,” Arya mengangguk, ibu jarinya mengusap punggung tangan Clara. “Tapi apakah kita bisa… mencoba lagi? Perlahan-lahan. Membangun kembali fondasi itu, bata demi bata. Aku ingin memperbaiki segalanya, Clara. Aku ingin kita kembali. Kembali menjadi kita.”

Hening kembali menyelimuti mereka, namun kali ini bukan hening yang canggung, melainkan hening yang penuh makna, sarat harapan. Clara menatap mata Arya, melihat refleksi dirinya yang penuh keraguaamun juga kerinduan yang mendalam. Ia menghela napas, sebuah senyum tipis terukir di bibirnya.

“Aku bersedia, Arya,” bisiknya, air mata menetes di pipinya. “Mari kita coba. Kali ini, dengan lebih baik. Dengan lebih banyak kepercayaan.”

Senyum lebar merekah di wajah Arya. Ia menarik tangan Clara, membawa jemarinya ke bibirnya dan mengecupnya lembut. Melodi jazz di kafe itu seolah berubah, mengalunkan simfoni kemenangan, mengiringi janji-janji baru yang terucap tanpa kata, hanya lewat tatapan mata dan sentuhan hangat yang kembali menyatukan dua hati yang sempat terpisah.

Kisah cinta Arya dan Clara mencapai titik baliknya, bukan pada akhir sebuah cerita, melainkan pada permulaan babak baru yang lebih matang dan penuh janji. Kesalahan dan perpisahan telah menjadi guru terbaik, mengajarkan mereka arti kepercayaan, komunikasi, dan kekuatan cinta yang sejati. Dengan hati yang terbuka dan keinginan untuk tumbuh bersama, mereka melangkah maju, siap menghadapi setiap tantangan yang mungkin datang, karena mereka tahu, cinta mereka layak diperjuangkan. (*)

Sastra

Penulis : Anto Narasoma orang-orangan sawah adalah kebohongan…