Sawah Jadi Perumahan, Harga Pangan Ikut Terbang
INFLASI itu ibaratnya sawah, Sumatera Selatan lagi panen raya, tapi sayangnya yang dipanen bukan padi, melainkan harga-harga kebutuhan pokok. Inflasi Sumsel Oktober 2025 tercatat 3,49 persen YoY, lebih tinggi dibandingkan nasional yang cuma 2,58 persen. Angka-angka ini terdengar dingin di laporan resmi, tapi bagi warga sehari-hari, rasanya seperti kopi manis yang tiba-tiba dicampur garam yang bikin kaget, bikin dompet panas, dan bikin geleng kepala.
Rapat koordinasi pengendalian inflasi yang dipimpin Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian membahas banyak hal, dari harga emas sampai penataan ulang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Salah satu sorotan utama adalah kenaikan harga emas perhiasan.
Bagi warga biasa, kenaikan emas bukan sekadar statistik, tapi drama nyata. Bayangkan ibu-ibu di Pasar Palembang, ragu antara beli telur atau menabung emas anaknya.
Bahkan emas kini, seperti tetangga baru yang pamer mobil mewah terlihat menarik, tapi bikin semua orang menelan ludah.
Kenaikan harga emas memang dipengaruhi faktor global suplai dan permintaan dunia, tapi efeknya lokal banget. Dompet warga Sumsel ikut menipis, daya beli menurun, sementara pemerintah daerah tentu ingin tetap santun menghadapi tantangan ini.
Oleh karena itu, jangan sampai rapat daring ini cuma jadi “canda tawa formal” tanpa efek nyata di pasar lokal. Humor boleh ada, tapi rakyat butuh hasil, bukan sekadar slide PowerPoint dan grafik yang bikin pusing mata.
Selain emas, harga kebutuhan pokok juga ikut memanas. Menteri Pertanian dan Kepala Bapanas menyoroti pentingnya pasokan pangan, termasuk program Mandiri Bertani Gotong Royong (MBG).
Program ini memang patut diacungi jempol karena berhasil membantu stabilisasi harga ayam dan telur. Tapi kenyataannya, distribusi dan biaya transportasi masih sering jadi penghambat.
Warga pun merasa seperti menonton drama dari balkon jauh, ingin menikmati hasil panen, tapi kenyataannya cuma bisa melihat dari jauh sambil ngelus dompet.
Tingginya inflasi Sumsel juga terkait dengan alih fungsi lahan dan RTRW. Sawah yang berubah menjadi perumahan mewah artinya produksi pangan lokal berkurang, harga naik, dan inflasi bertambah.
Sementara pemerintah daerah sudah punya regulasi, tapi implementasinya kadang mirip pepatah lama “mengetuk paku pakai sendok”. Maksudnya, ada usaha, tapi kurang efektif. Rakyat menunggu hasil nyata, bukan janji-janji manis yang berakhir di meja rapat.
Kalau diperhatikan lebih dalam, dampak inflasi ini terasa sampai ke rumah tangga biasa. Contohnya, keluarga yang tadinya bisa beli telur dan ayam setiap minggu, kini harus pintar-pintar memilih mana yang duluan masuk keranjang belanja.
Perempuan rumah tangga mengeluh, “Dompet ini sekarang kayak WiFi tetangga, sering putus dan bikin pusing!” Oleh sebab itu, humor memang ringan, tapi seriusnya jelas, yaitu inflasi menyengat kehidupan sehari-hari, bukan hanya angka di laporan statistik.
Di sisi lain, pemerintah daerah sebenarnya punya potensi besar untuk menahan inflasi. Misalnya, mengoptimalkan program MBG, memprioritaskan distribusi pangan lokal, memberi subsidi strategis di momen kritis, dan memantau harga air minum serta kebutuhan pokok menjelang akhir tahun.
Dengan langkah konkret ini, warga bisa merasakan inflasi yang terkendali, bukan cuma membaca angka di layar laptop.
Jadi, jelas inflasi itu nyata, berdampak langsung ke kesejahteraan masyarakat, dan butuh aksi nyata. Emas naik, harga pangan naik, dompet menipis, semua ini menuntut keseimbangan antara kebijakan nasional dan langkah lokal. Humor memang bisa meringankan suasana, tapi kenyataan harus ditangani serius.
Sumsel memang panen inflasi, tapi warga bisa tetap panen senyum kalau pemerintah daerah bergerak lebih nyata. Strategi pengendalian yang tepat, sinergi dengan program nasional, dan pengawasan lapangan konsisten akan membuat harga stabil, pangan aman, dan dompet warga tidak ikut panen tipis.
Di akhir cerita, mari tarik benang merahnya, inflasi itu seperti teman nakal yang suka bikin repot. Kalau ditangani dengan humor, kebijakan cerdas, dan kerja nyata, warga Sumsel tetap bisa tersenyum, dompet tetap aman, dan panen tetap terasa manis.
Ingat, “Perut kenyang lebih penting daripada dompet tebal tanpa makan”. Jadi, tertawa boleh, tapi tetap jangan lupa kerja nyata!.[***]

























