JIKA ada lomba daerah paling sabar menghadapi musibah di akhir tahun”, mungkin Aceh sudah angkat piala pasalnya banjir yang datang belum lama ini menyebabkan infrastruk mengalami gangguan, misalnya listrik disana padam, sinyal hilang, BTS tumbang, jembatan putus, pokoknya lengkap sudah seperti paket kombo nasi padang plus kuah komplit. namun bedanya tidak bisa dibungkus untuk dibawa pulang.
Misalnya juga kamu tinggal di Krueng Simpo, Kecamatan Juli, Bireuen, air naik, jembatan putus, jalan terputus, sinyal menghilang. Mau telepon keluarga? sangat mustahil. Mau video call gebetan? lupakan dulu. Bahkan sekadar mengirim OTW banjir pun susah. Pokoknya dunia terasa sepi bukan karena jomblo, tapi karena benar-benar tidak ada jaringan.
Tapi ternyata, di tengah kegelapan tanpa sinyal itu, ada kejutan, yaitu internet satelit datang macam superhero bersarung dari langit. Bukan Superman, bukan Ultraman, bukan Gundala atau pun Gatot Kaca, tapi Starlink dan Satria-1, Nah ini bukan iklan, tapi inilah realitanya.
Karena, hingga Rabu (10/12/2025), hampir 66,99% BTS di Aceh padam. Total 2.287 menara telekomunikasi tumbang dari 3.414. Ini bukan rusak karena disenggol sapi, tapi mati karena listrik padam dan jalur transmisi putus.
Iya, putus.
Bukan cuma hubungan, tapi juga jaringan.
Jadilah warga Aceh menjalani hari-hari penuh drama. Mau nanya kabar keluarga? Susah. Mau upload story banjir? Mana bisa. Mau check-in Mobile Legends? Jangan harap.
Namun harapan datang dari tempat paling tak disangka angkasa.
Oleh karena itu, Kemkomdigi turun tangan, membagikan perangkat internet satelit ke titik-titik yang benar-benar membutuhkan. Ada yang dipasang di kantor kecamatan, posko relawan, lokasi warga terisolir, sampai tempat warga biasa nongkrong sambil nugas.
Di sinilah ceritanya jadi semakin absurd dan lucu.
Seorang warga Krueng Simpo bilang begini saat bicara virtual dengan Wamenkomdigi Nezar Patria “Orang-orang di sini bisa mengakses internet untuk mengetahui keadaan keluarganya di luar”.
Umpamanya, berbicara virtual, padahal beberapa jam sebelumnya sinyal E saja nggak ada.
Jadi, begitu Starlink dipasang, warga langsung kumpul macam orang rebutan kupon sembako. Ada yang mau telpon anaknya di Medan, ada yang mau kabarin suaminya di Banda Aceh, ada juga yang cuma mau lihat update grup WA keluarga yang biasanya rame dan bikin pusing.
Semuanya bahagia, banjir boleh memisahkan, tapi internet satelit menyatukan kembali.
Masalah lain yang bikin suasana makin dramatis adalah putusnya jembatan penghubung Kecamatan Juli dengan wilayah sekitar. Jadilah warga seperti berada di pulau kecil yang baru terbentuk tempo hari akibat hujan.
Mobil tak bisa lewat, motor pun menyerah, satu-satunya yang bisa lewat sebelum internet datang cuma air dan rasa cemas.
Jadi pas internet satelit tiba?
Suasananya kayak lebaran.
Beneran.
Wamen Nezar Patria mengibaratkan internet sebagai alat kebukakan mata, tanpa telekomunikasi, kita tidak tahu keadaan warga di titik paling parah.
Dan itu benar, banjir itu bukan cuma soal tinggi air, tapi soal informasi, siapa yang terjebak? siapa yang perlu bantuan? titik mana yang paling kritis?
Makanya, 18 titik internet darurat langsung disiapkan, plus 88 perangkat Starlink disebar ke Aceh, Sumut, dan Sumbar. Kalau jaringan di satu daerah sudah pulih, perangkatnya bisa dipindah ke daerah lain.
Praktis.
Fleksibel.
Macam powerbank keliling, tapi versi sinyal.
Tapi tetap ada PR besar yaitu soal kelistrikan.
Starlink-nya siap, satria-nya siap, warganya siap, tapi kalau listrik tak mau kompromi ya wassalam. Genset ada, tapi BBM terbatas. BBM ada, tapi jalannya putus. Jalan ada, tapi banjir.
Singkatnya sama-sama butuh, sama-sama terbatas.
Inilah yang Kemkomdigi dan lembaga lain sedang kerjakan bareng, pastikan listrik masuk dulu supaya konektivitas bisa bertahan bukan cuma hitungan jam, tapi berhari-hari.
Di tengah suasana banjir, ada warga berkomentar. Ada bapak-bapak bilang “Biasa di rumah sinyal hilang, kini di posko malah kencang. Jadi saya pindah domisili dulu ke posko”.
Ada ibu-ibu nyeletuk “Starlink ini enak nian, nak. Tinggi air naik, sinyal pun naik. Ndak pernah terbalik!”
Banjir bisa merendam jalan, air bisa menenggelamkan rumah. Jembatan bisa roboh, sinyal bisa hilang.
Tapi harapan tak boleh ikut tenggelam, teknologi memang bukan segalanya, tapi di saat bencana, komunikasi adalah penolong besar, membuat warga tenang, membuat pemerintah cepat bergerak, membuat keluarga tahu kabar masing-masing.
Kalau jembatan darat terputus, kita bangun jembatan digital dari langit.
Boleh modern, tapi maknanya tetap sama menghubungkan manusia dengan manusia.
Jadi, banjir Aceh, Sumut, dan Sumbar bukan sekadar cerita genangan air, tapi cerita tentang bagaimana teknologi dan kemanusiaan berjalan beriringan. Internet satelit jadi penyelamat komunikasi di saat semua terputus. Harapan muncul ketika sinyal kembali bernyawa.
Pada akhirnya, hidup ini memang seperti sinyal HP, kadang hilang, kadang full bar. Yang penting, kita tetap mencoba menyambung lagi.
Pepatah bilang “Air bah boleh datang, tapi akal sehat jangan ikut hanyut”.[***]

























