BERITAPRESS.ID, TUAL | Proses pemilihan Direktur Politeknik Perikanan Negeri Tual (POLIKANT) periode 2025–2029 diselimuti kabut pekat penyalahgunaan wewenang dan intrik politik keluarga.
Bukti-bukti menunjukkan bahwa Direktur aktif diduga telah merekayasa proses politik kampus demi meloloskan ipar kandungnya sebagai calon Direktur, meski tidak memenuhi syarat hukum dan administratif yang ditetapkan dalam peraturan negara, (2/8/2025).
Penunjukan Ketua Jurusan Secara Sepihak: Manipulasi Awal dari Rantai Kecurangan
Empat ketua jurusan di POLIKANT ditunjuk langsung oleh Direktur aktif tanpa melalui mekanisme pemilihan internal sebagaimana diatur dalam Peraturan Direktur Nomor 01/PL.26.R/KP/SK/2022, Statuta POLIKANT, dan Organisasi dan Tata Kerja (OTK) lembaga tersebut.
Tindakan sepihak ini bukan sekadar pelanggaran administratif. Ini adalah bentuk nyata dari pembunuhan demokrasi akademik. Fungsi senat yang seharusnya menjadi penjaga marwah keilmuan dan tata kelola yang adil justru dipasung dengan kepentingan kekuasaan.
Menurut sumber internal yang enggan disebutkan namanya, para ketua jurusan baru ini ditengarai sebagai “loyalis keluarga” yang siap mengamankan kepentingan politik sang ipar dalam kontestasi pemilihan Direktur.
Ipar Kandung Jadi Calon: Ketika Regulasi Dirobek Demi Kekuasaan
Masalah semakin mencolok ketika diketahui bahwa ipar kandung dari Direktur aktif didorong menjadi calon Direktur, meski secara terang benderang tidak memenuhi syarat yang diatur dalam Permenristekdikti No. 19 Tahun 2017.
Pasal yang mengatur secara eksplisit menyebut bahwa bakal calon Direktur minimal harus memiliki pengalaman manajerial selama dua tahun dalam jabatan struktural eselon II atau yang setara.
Faktanya, kerabat dekat sang Direktur hanya pernah menjabat sebagai Ketua Unit Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (UP2M), yang secara struktural hanyalah unsur pelaksana fungsional, bukan jabatan eselon, apalagi strategis dalam hal tata kelola kelembagaan.
“Ini jelas cacat hukum. Tapi mereka bersikukuh mendorong dia. Bahkan diduga menghalangi calon-calon kuat lain yang seharusnya layak dan sah secara aturan,” ujar sumber yang tak ingin namanya dicatut.
Demokrasi Dipersempit, Calon Potensial Dieliminasi
Manipulasi tak berhenti di meja pengangkatan Ketua Jurusan. Langkah sistematis juga terlihat dalam cara panitia pemilihan mengeluarkan Surat Pemberitahuan Dosen yang Memenuhi Syarat sebagai Bakal Calon.
Surat yang ditandatangani oleh Ketua Panitia ini merujuk pada surat Kabag Kepegawaian, Umum, dan Keuangan yang disinyalir digunakan sebagai senjata selektif untuk menggembosi lawan politik sang ipar.
Kandidat-kandidat potensial dengan rekam jejak akademik dan manajerial mumpuni justru tidak muncul dalam daftar. Dugaan adanya “operasi senyap” untuk menyingkirkan pesaing kuat kian menguat.
Nepotisme Terstruktur, Demokrasi Terkubur
Rentetan pelanggaran ini membentuk pola sistematis yang tidak bisa dianggap sebagai kelalaian administratif belaka. Ini adalah indikasi kuat dari nepotisme yang terstruktur, masif, dan terang-terangan.
Kampus yang seharusnya menjadi ruang bebas nilai, kini berubah menjadi ladang kekuasaan keluarga.
Demokrasi akademik yang menjadi ruh perguruan tinggi, justru diruntuhkan dari dalam oleh aktor-aktor yang seharusnya menjadi penjaga moral dan integritas institusi.
Jika tindakan ini dibiarkan, POLIKANT tidak hanya akan kehilangan kepercayaan publik, tetapi juga akan menjadi preseden buruk bagi dunia pendidikan tinggi Indonesia, khususnya di kawasan timur.
Harapan Terakhir: Intervensi Kementerian
Kini, semua mata tertuju pada Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Apakah akan membiarkan nepotisme terus tumbuh subur di bawah atap institusi negara? Ataukah akan turun tangan menegakkan regulasi yang telah mereka buat sendiri?
Karena jika hukum dan etika terus diabaikan, maka bukan hanya POLIKANT yang dalam bahaya. Tapi masa depan generasi muda Maluku Tenggara dan pendidikan tinggi itu sendiri yang sedang digadaikan atas nama ambisi kekuasaan keluarga.