Reporter : Erwin Gunawan
BERITAPRESS, BOGOR | Jelang berakhirnya masa kepemerintahan yang hanya tersisa dalam hitungan bulan, Presiden Republik Indonesia (RI) Joko Widodo secara mengejutkan berbagi konsesi tambang kepada dua Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) Islam terbesar di Indonesia, Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU).
Seperti diketahui, Presiden Joko Widodo menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2024 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.
Dalam PP yang ditandatangani pada 30 Mei 2023 itu, pemerintah memberikan izin kepada ormas keagamaan untuk mengelola pertambangan.
Terkait hal itu disahkan, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) langsung menentukan langkah dengan menerima izin usaha tambang tersebut.
Sedangkan Pengurus Pusat Muhammadiyah, baru-baru ini justru menerima juga terkait izin usaha pertambangan tersebut.
Disisi lain, ormas keagamaan lainnya yang tersebar di seluruh Indonesia masih ada yang menolak, bahkan menyayangkan langkah yang diambil oleh NU serta Muhammadiyah sehingga terjadi pro dan kontra.
Pakar Sosiologi Lingkungan yang juga Dosen Ilmu Lingkungan Program Studi Ilmu Lingkungan Fakultas Teknik dan Sains Universitas Ibn Khaldun (UIKA) Kota Bogor, Dr Rimun Wibowo angkat bicara sekaligus membeberkan prinsip tata kelola tambang secara sosiologis.
“Kami berdoa dan berharap sekali lagi, sebagai konsekuensi menerima tawaran ini ormas Islam yang mengelola tambang hendaknya menjadi teladan nomor wahid dalam pengembangan dan penerapan Environmental Social Governance (ESG) dan Environmental Social Standard (ESS) yang perspektif Islam,” ujar Dr Rimun Wibowo kepada Beritapress.id, Kamis, 1 Agustus 2024.
Rimun Wibowo menyebut bahwa hal itu akan menjadi tamparan keras baginya, mengingat sebelum menerima tawaran tersebut sudah banyak tokoh yang mengingatkan.
“Hal ini berat, mengingat aspek ini sering dipandang sebagai cost center bukan profit center,” ucapnya.
“Ormas Islam yang selama ini bergulat di cost center, semoga bisa menjadi teladan bagi pengelola tambang dalam hal kepatuhan dalam menjalankan ESS yang substansinya ada sembilan,” sambungnya.
Lebih lanjut, Rimun Wibowo mengungkapkan apabila nantinya kegiatan pertambangan tidak mendapatkan legitimasi sosial dan tidak mengelola risiko dampak lingkungan dengan baik, maka pada akhirnya akan timbul banyak legacy issue di kemudian hari yang akan menimbulkan pembengkakan biaya.
“Hal ini jelas melanggar prinsip pembangunan berkelanjutan yang merugikan masyarakat, lingkungan, dan pengelola tambang sendiri,” ungkapnya.
“Hal ini karena bisnisnya akan mendapat banyak gangguan secara sosial dan risiko-risiko atas kerusakan lingkungan yang timbul sepanjang proses eksplorasi dan eksploitasi, oleh karena itu tidak ada pilihan lain,” pungkasnya.