Ngakak

“Pelayanan Publik Makin Cepat, Tapi Apakah Cukup untuk Warga?”

×

“Pelayanan Publik Makin Cepat, Tapi Apakah Cukup untuk Warga?”

Sebarkan artikel ini

URUSAN KTP di Sumatera Selatan sekarang seperti drama komedi, kadang cepat, kadang bikin garuk-garuk kepala. Baru-baru ini, Gubernur Herman Deru memberi penghargaan untuk para pemenang Kompetisi Inovasi Pelayanan Publik Disdukcapil se-Sumsel, sekaligus menyaksikan penandatanganan kerja sama antara Dukcapil, Bapenda, dan RSUD Siti Fatimah.

Di atas kertas, semuanya terdengar manis dan rapi. Tapi realitanya? Warga masih sering berhadapan dengan antrean panjang, dokumen berserakan, dan birokrasi yang bisa bikin kepala pening tujuh keliling.

Ada bapak-bapak di desa terpencil yang ingin mengurus akta kelahiran cucunya. Dulu, harus naik motor sampai 2 jam ke kota, panas-panasan, pulang bawa tangan kosong kalau dokumen kurang.

Sekarang? Ada layanan jemput bola, layanan bergerak, dan integrasi dengan fasilitas kesehatan. Warga bilang, “Alhamdulillah, nggak perlu lagi jalan jauh sampai ngos-ngosan”. Nah, ini baru namanya pelayanan yang menyentuh hati.

Tapi, jangan terlalu cepat tepuk tangan. Pepatah bilang, “air tenang menghanyutkan”.

Layanan cepat dan inovatif boleh saja, tapi tanpa pemerataan, kelompok rentan masih bisa terabaikan. Di satu desa ada layanan bergerak, di desa lain belum terdengar kabar.

Inovasi bisa jadi sekadar jargon cantik kalau tidak konsisten. Oleh karena itum  pemerintah daerah harus pastikan setiap desa, bukan hanya kota besar, menikmati kemudahan ini.

Gubernur Herman Deru bilang, pelayanan efektif lahir dari komitmen, keberpihakan, dan kreativitas, bukan hanya teknologi tinggi. Benar juga.

Ide sederhana seperti mendatangi langsung warga yang kesulitan membuat dampak besar. Misalnya, integrasi data kependudukan dengan rumah sakit. Dulu pasien harus bolak-balik rumah sakit dan kantor Dukcapil untuk urus administrasi, sekarang cukup satu kali datang. Praktis, kan? Tapi sekali lagi, solusi ini perlu diperluas, jangan hanya proyek percontohan di satu kabupaten.

Pelajaran penting, kreativitas pemerintah harus dibarengi sistem yang jelas dan merata. Jangan sampai warga kecil merasa “ini cuma untuk yang dekat kantor bupati saja”.

Layanan publik yang baik itu seperti pepatah Jawa “Sapa sing nandur bakal ngundhuh”.

Artinya, usaha yang konsisten akan menuai hasil nyata. Kalau pemerintah menanam benih inovasi hanya sesekali, warga yang membutuhkan tetap kering kerontang.

Oleh karena itu, kompetisi inovasi ini membuat aparatur pemerintah saling berlomba kreatif. Ada yang bikin layanan bergerak, ada yang jemput bola, ada yang bikin integrasi digital canggih.

Ide kreatif

Rasanya seperti lomba masak antar kabupaten, semua ingin menang. Tapi bedanya, pemenangnya bukan sekadar juara rasa, tapi juara manfaat buat rakyat.

Hanya saja, kadang ide-ide kreatif itu belum menyentuh seluruh lapisan masyarakat. Jadi lucu, sekaligus menggelitik, teknologi canggih sudah ada, tapi masih ada warga yang harus naik motor 2 jam cuma buat satu stempel.

Solusinya? Pemerintah harus fokus pada pemerataan dan monitoring inovasi. Tidak cukup membuat satu desa sebagai percontohan, harus ada roadmap supaya seluruh kabupaten dan kota ikut merasakan kemudahan.

Kolaborasi Dukcapil dengan Bapenda dan RSUD Siti Fatimah adalah langkah bagus, tapi jangan berhenti di situ.

Ide kreatif yang sudah lahir harus dijaga, dikembangkan, dan disebarluaskan. Kalau perlu, buat aplikasi sederhana untuk warga melacak layanan bergerak, jadwal jemput bola, atau integrasi kesehatan-kependudukan.

Di balik itu semua, pelayanan publik itu bukan soal pamer inovasi atau dapat penghargaan. Pelayanan publik itu soal warga yang senyum lega karena urusannya selesai tanpa ribet.

Ide kreatif boleh besar atau kecil, yang penting manfaatnya nyata. Pemerintah harus paham, kadang solusi sederhana lebih manjur daripada teknologi mahal tapi rumit.

Jadi,  inovasi layanan publik Sumsel sudah di jalur yang benar  kreatif, aplikatif, dan mulai merambah desa-desa. Tapi ada PR besar, yaitu pemerataan, konsistensi, dan fokus pada warga paling terdampak seharusnya berjalan beriringan agar inovasi tidak cuma jadi ajang pamer, tapi benar-benar membuat hidup warga lebih mudah.

Ingat pepatah lama “Tak kenal maka tak sayang”. Pemerintah harus benar-benar mengenal kebutuhan warga, bukan hanya melihat angka atau proyek percontohan.

Dengan begitu, pelayanan publik bukan sekadar seremonial, tapi menjadi sahabat nyata warga. Kalau ini terjadi, barulah penghargaan, lomba inovasi, dan kerja sama antarinstansi bukan sekadar seremoni, tapi benar-benar membawa perubahan.[***]