Scroll untuk baca artikel
Sastra

Monolog Dalam Syair Puisi

×

Monolog Dalam Syair Puisi

Sebarkan artikel ini
Oleh Anto Narasoma

 

BAGI penyair, dialog dengan dirinya sendiri ketika ia menulis puisi adalah hal biasa. Sebab munculnya kata hati dalam menerjemahkan ide dan gagasan, diam-diam dilakukan secara monologis.

Itulah gambaran penyair yang membangun kata-kata sebagai karya estetik di dalam puisinya.

Membuka lembaran buku sekumpulan puisi karya *Ingit Mreta Claritas* bertajuk *Senandika*, kita diajak penyair wanita ini mengembara ke dunia spiritual dan sosial kemasyarakatan.

Kalau saya perhatikan dari beberapa puisinya, penyair *Ingit Mreta Claris* tampaknya sangat intens dengan ide dan gagasan.

Buku antologi *Senandika* yang diterbitkan penerbit *Bildung Yogyakarta* ini sangat kaya dengan ide dan gagasan. Meski dari beberapa puisinya belum memperlihatkan kematangan karya sebagai penyair, namun dari kekuatan imajinasi dan pemahaman momen dan movemen dalam uraian karyanya, Ingit memang cerdas menampilkan diksi-diksi pilihan.

Sebab, pokok mendasar bagi karya puisi adalah kata pilihan. Dalam format membangun struktur puisi, landasan paling mendasar adalah kata.

Maka ketika kita memguak lapisan kata di dalam kalimat puisi yang ditulis Ingit, akan tergambar berbagai lapisan ekstrinsik (hakikat luarI dan intrinsik (hakikat di dalamnya).

Karena itu, untuk masuk ke dalam nilai puisi, bisa kita kaji dari hakikat ide, gagasan, dan usaha untuk menerjemahkan isi melalui empat komponen yang ada.

Komponen-komponen itu terdiri dari sense atau lapisan tema atau arti. Komponen kedua, feeling atau rasa. Dari dua komponen ini dapat kita terlisik tentang nilai tujuan dan maksud isi yang terkandung di dalamnya.

Dari rangkaian puisi di dalam antologi *Senandika* ini, terbagi menjadi empat bagian. Masing-masing kelompok menjelaskan nilai ke-Tuhan-an, cinta, keluarga, dan sosial kemasyarakatan.

Dari dua komponen yang dijelaskan lebih awal, nilai ke-Tuhan-an dapat kita rasakan dari *feeling* untuk menetapkan arti (*sense*) dari persepsi ekstrinsik dan instrinsik.

Di antara sejumlah pintu di balik kalimat akan kita dirasakan dari ungkapan kata *Tuhanku*…

_Dalam diam aku termangu// Menunggu bantuan dari-Mu// Berharap kau akan mengenaliku_…

Sebagai hamba, penyair selalu tafakur dalam diam (bisa jadi mengucap zikir, tahmid, dan membaca ayat-ayat pendek) saat ia berdoa selepas salat.

Tampaknya Ingit Mreta Claritas begitu _keukeuh_ berserah diri dengan menyenandungkan kepedihan hatinya. Ia dapat dirasakan di alinea ke dua…

_Tuhanku// Diri ini berselimut sedih terbalut sepi// Mempunyai setetes kekhawatiran yang tak bertepi// Mempunyai sepucuk duri yang melukai hati_..

Penyerahan diri itu tampaknya tak sekadar pasrah. Sebab dalam pergulatan jiwa yang dililit berbagai persoalan, Ingit mengungkapkan segala kegelisahan hatinya karena ada sesuatu (duri yang melukai hati) yang begitu pedih ia rasakan. Bahkan penderitaan itu begitu gencar membentur perasaannya hingga menyajikan kekhawatiran yang tak bertepi.

Secara eksteren, Ingit lebih memilih kata *tak* bukan tiada. _..kekhawatiran tak bertepi_. Pemilihan kata seperti ini sungguh bijak. Sebab untuk menghadirkan keindahan kata, kita memang tidak perlu mencari-cari kata yang dinilai indah. Apabila kita pandai merangkum kalimat dengan nilai *sense* yang kuat, selain konotasi bahasa puisi itu indah, secara estetika, landasan tujuan puisinya juga tepat dan kuat.

Jika diperhatikan secara mendalam, penyair Ingit Mreta Claritas ini sangat mengagumi eksistensi Chairil Anwar. Puisi Tuhan ini ada kemiripan dengan alinea pertama puisi Tuhan-nya Chairil Anwar.

_Tuhan,_
_Dalam termangu aku masih menyebut nama-Mu_…dst

Sementara puisi Ingit, berbunyi…_Tuhanku//Dalam diam aku termangu_ dst… Kalu kita cermati secara *tone of poe* ada kesamaan bunyi. Jika saya telaah secara mendasar, Ingit tidak (sengaja) mengikuti alur puisi Tuhan karya Chairil Anwar.

Tapi bisa jadi Ingit sangat meminati figur Chairil Anwar, sehingga apa yang ditulis Ingit ada kemiripan dengan penyair flamboyan tersebut.

Kemiripan seperti itu menurut Korrie Layun Rampan adalah satu kewajaran. Sebab seperti dimaksud dengan nilai rasa (*feeling*), sikap penyair yang mengidolakan satu tokoh penyair, akan membentuk secara psikologis tiap karya yang dihasilkan ( Perjalanan Sastra Indonesia 1983).

Yang kita harapkan agar penyair Ingit tetap fokus kepada nilai-nilai kediriannya sendiri sehingga akan muncul jati dirinya yang kuat.

Dalam himpunan puisi pada kelompok dua, ada puisi bertajuk *Pria Berdasi*. Puisi dengan ungkapan sederhana ini memiliki kandungan protes dan ada unsur untuk mengkritisi sikap yang tak mencerminkan jiwa seorang pemimpin.

*PRIA BERDASI*

Ini yang kau maksud pemimpin?
Bukannya memberikan contoh, tapi malah mencemooh
Tak menghormati malah menghakimi
Pun memberikan ocehan yang tak terbukti
Dia yang disebut sebagai bapak kita semua (?)
Yang ada hanya pria berdasi tak berwibawa
Hanya bisa melihat tanpa meraba
Dan kita semua menyaksikan dengan penuh kecewa
Mungkin dia sedang tak sadar dengan gelagatnya
Yang katanya taat ternyata penuh maksiat
Terlihatnya binar ternyata tak ada yang benar

Batu, 26 Juli 2022

Puisi yang sederhana tapi secara intensi memiliki sikap yang tidak menyukai sikap kepemimpinan pria berdasi itu.

Memang tiap puisi memiliki pokok persoalan yang harus dikemukakan. Entah isinya suka atau tidak. Sebab hak penyair hanya menelaah ketika instinknya menangkap ide yang menarik perhatiannya.

Ada penyair yang gemar mengkritisi secara tersamar, dan ada pula yang diungkap secara terang-terangan meski disusupi nilai-nilai estetik puitika.

Memang, banyak penyair yang menulis topik persoalannya secara tersamar, sehingga pembaca harus lebih kreatif untuk menangkap apa yang tersaji di dalam puisi itu

Puisi bertajuk *Pria Berdasi* ini secara terang-terangan mengungkap ketidaksukaan penyair melihat sikap seolah santun ternyata berjiwa maksiat (_Yang katanya taat tapi maksiat_: kalimat kedua menjelang akhir).

Coba perhatian secara akurat tentang isi dari kalimat tersebut. _katanya taat_… taat kepada (apa) siapa? Sayang penyair tidak menjelaskan secara terarah, maksud taat (kepada apa : siapa).

Namun saya yakin, maksud penyair taat pada pemahaman agama yang dianutnya. Sayangnya jiwa pemimpin seperti ini penuh kebusukan karena berjiwa maksiat.

Terlepas dari semua itu, sesungguhnya masih banyak ikhwal yang masih harus saya ulas sehimpun puisi karya Ingit Mreta Claritas ini. Sebab dari kelompok tiga dan empat banyak puisi menarik lainnya.

Namun biarlah pembaca dapat menelaahnya sendiri. Seperti puisi bertajuk Wanita Berselendang Sutra, memang menarik untuk diresensi. Namun ruang dan waktu yang terbatas, pembaca dapat menafsirkan sesuai dengan kreativitas yang dimiliki.

Buku antologi *Senandika* berisi sekitar 100 puisi yang dipisah dalam empat kelompok sangat menarik untuk dibaca. Sebab dari isi secara estetika, pengalaman, serta nilai-nilai relijiusitas di dalam diri penyair dapat kita rasakan.

Sebenarnya ada beberapa hal yang perlu diresensi secara mendalam. Tapi dalam kesempatan lain akan saya ulas agar *Ingit Mreta Claritas* akan tampil sebagai penyair yang memiliki kekuatan cirinya sendiri. Sukses !

Palembang
19 April 2024

(Penulis adalah sastrawan dan jurnalis senior)