Scroll untuk baca artikel
Sastra

Menakar Isi Buku Alegori

2
×

Menakar Isi Buku Alegori

Sebarkan artikel ini

Oleh Anto Narasoma

 

MENELUSURI jejak isi buku kumpulan puisi yang ditulis Romy Sastra bertajuk Alegori sangat menarik untuk dipahami.

Dari judul buku, sangat menarik untuk dipahami. Karena landasan kata yang diaplikasi ke dalam 180 puisi pilihan, mendorong saya untuk menelaah maksud dan tujuan isi dari puisi-puisi yang dipilih penyair.

Awalnya muncul pertanyaan panjang di dalam diri saya tentang kata Alegori. Namun, setelah saya telusuri jejak-jejak kata itu, terrnyata, majas alegori merupakan kata kiasan (semiotik) yang menjelaskan kepribadian manusia.

Sebab majas alegori merupakan majas perbandingan sebagai gaya bahasa antara satu dengan yang lainnya.

Romy Sastra memang penyair cerdas. Dalam konteks majas bahasa, alegori merupakan kiasan yang menggambarkan persoalan perilaku manusia dan bahasa kias terkait sebentang alam.

Tak hanya mengungkap majas kata sebagai kekuatan puisinya, penyair juga membangun struktur pemahaman tentang “perilaku alam” yang dijabarkan ke dalam sikap dan watak manusia.

Kata alegori inilah yang menjadi kekuatan persepsi Romy Sastra di dalam mengungkap perilaku dan sikap hidup manusia.

Memang, sebagai seniman sastra, Romy berusaha keras untuk membuka lipatan arti alegori ke dalam bahasa kiasan (konotasi) antara kemanusiaan dan lingkungannya.

Dari penjabaran puisi, terdapat empat komponen yang harus terpenuhi. Sebab komponen-komponen ini penting disisipkan ke dalam majas puisinya.

Dari empat komponen, penyair mencoba melakukan pendekatan intrinsik (pribadinya sendiri) dan ekstrinsik, yakni kedekatan dirinya terhadap perkembangan di luar dirinya.

Maka secara tematik, ia justru menekankan ke ruang arti (sense) yang begitu luas. Dalam kaidah rasa (feel), terkadang kita menemukan nilai-nilai yang “tak” terdapat dari nilai pribadi kita selama ini.

Namun jika nilai sense yang muncul itu sangat kuat berkaitan dengan estetika, maka banyak penyair yang memanfaatkan itu sebagai kekuatan intensitas untuk tujuan akhir puisi (persembahan isi).

Pada halaman 1, penyair menyajikan puisi bertajuk Revolusi. Jika diselusuri tiap kata (diksi) kata revolusi tampaknya tak berkisah tentang perjuangan dalam pertempuran.

Tapi sebaliknya, jika kita urut dari kata per kata, perjuangan tersebut seolah disamarkan dalam pergulatan sehari-hari. Bahkan dari keseharian yang diurai dengan diksi-diksi yang disamarkan. Coba kita simak dari alinea awal…

kita ditelanjangi/ ia mengambil jiwa kita/ dan dibawanya terbang menuju awan..

Dalam hubungan ini, tampaknya penyair menjelaskan intensinya melalui pendekatan falsafah, serta pendekatan ekstrinsik yang bersentuhan dengan lapis rasa (feel of human).

Meski pada lapisan kalimat itu diungkap dengan bahasa tutur yang bercorak prosa lirik, namun kaidah isinya sarat dengan uraian yang disamarkan. Namun tiap puisi tentu memiliki nilai arti yang ia tangkap lewat ide dan gagasan.

Dari alinea kedua, penyair meluruskan komponen awalnya ke alur lanjutan, seperti…

pada penglihatan yang heran/ anak cucu melihat garuda bingung/ panji enggan menari/ serioza rusak nada/ istana terus berdansa/ topeng-topeng di wajah kurcaci/ : beranomali..

Dari uraian puisinya di alinea kedua ini, secara intention baru dipahami bahwa tujuan isi puisi Revolusi ini mengacu pada kebingungan rakyat atas sikap para oknum pemegang mandat kekuasaan yang kurang berpihak pada kepentingan rakyat (pada penglihatan yang heran/ anak cucu melihat garuda bingung ….( serioza rusak nada)

Ternyata ungkapan kata revolusi itu bukan perjuangan dalam pertampuran, tapi perjaungan melawan kondisi sulit yang dihadapi masyarakat (rakyat).

Dari ungkap kata serioza (baris empat aliea kedua) mencerminkan usaha rakyat yang dibengkokkan sehingga situasi sosial di dalam kehidupan rakyat menjadi sulit dan rusak (serioza rusak nada). Sementara kehidupan di istana (bahasa kias kehidupan pejabat) terus berdansa.

Pendekatan dikotomi semacam ini memang membuat penggemar sastra puisi kurang puas. Karena itu untuk memahami bahasa puisi Romy Sastra memang perlu dicoba melalui pendekatan dari sisi hakikat dan metode pendalaman tentang sebab dan akibat.

Tak dapat disangkal andaikan kalimat bertutur penyair ini menyimpan tema (sense) yang tersamar. Karena itu untuk memahami secara utuh harus dituntut dan ditelusuri secara lebih kreatif.

Untuk menjelaskan sejumlah unsur dalam membangun tipografi (bentuk kerangka) puisi, berlaku teori dikotomi yang memandang dari dua sudut pandangan, yakni, sudut bentuk dan isi puisi (sense of poe).

Hal semacam itu pernah dikemukakan tokoh sastra Polandia, Roman Ingarden. Ia menyatakan bahwa karya sastra merupakan struktur norma yang terdiri dari berbagai lapis norma.

Artinya, lapis norma yang berada di atasnya menyebabkan munculnya sejumlah norma yang ada di bawah lapisan kalimat lanjutan.

Pada lapisan norma di atasnya merupakan getaran lapis bunyi (kalimat yang diungkap), yang menimbulkan lapisan arti (sense).

Setiap kata mempunyai artinya sendiri. Jika kata-kata tunggal itu bergabung dalam konteksnya, maka akan melahirkan frase. Frase-frase ini akan membentuk pola-pola kalimat, bisa jadi kalimatnya disamarkan.

Dalam antologi Alegori ini, Romy Sastra berusaha untuk memahami nilai kata dan gagasan ide dari luar dirinya (ekatrinsik).

Secara psikis, ide dan gagasan yang ditangkap penyair memang kuat. Bahkan dari persoalan kecil sebagai ide, dikelola Romy menjadi gagasan yang brilian.

Dalam puisi Geming di Tungku Perapian luapan kreativitasnya begitu hebat. Puisi yang ia tulis di sekitar Lereng Gunung Lawu Jamus Ngawi, 25 April 2023 itu, menjelaskan ikhwal kekuatan batin kepada Sang Pencipta (Allah SWT)…

gema itu kini hening, lalu hening/ bising berkuda teknologi/ gugus berpendar menuju peradaban/ senyum semesta kubaca/ daun-daun menari-nari di mataku/ subur menuju purna/ kelak gugur seiring takdir/ kini aku gamang menabuh gema/ setelah kembali dari kematian/ pada kesunyian pesta tersisa/ tanak di tungku perapian belum padam/ makrifat dian di sudut hati kudawamkan/ aku pulang ke sajadah panjang/ membujuk mim: salawat salam diaminkan/ tongkat alif penuntun jalan…

Dari uraian di atas, dapat ditangkap nilai endapan rasa yang membungkus jiwanya. Secara efonik, bentuk puisi ini terdapat lapis bunyi terkait perjuangan hidup penyair yang diwarnai berbagai tantangan. Namun hakikat yang paling kuat membentuk pribadinya adalah obyek Ilahiyah (Ketuhanan)… aku pulang ke sajadah panjang/ membujuk mim: salawat salam diamimkan/ tongkat alif penuntun jalan..

Kandungan hati yang sarat makna pada nilai ke-Tuhan-an secara pribadi, menetapkan ketentuan dirinya dari berbagai persoalan hidup yang membebani, akhirnya kembali ke pada kentuan religiustasnya yang kuat.

Seperti dikemukakan Dr H Syarwani Ahmad MM, sikap hidup yang bersemayam di hati itu ditentukan nilai kekuatan relijik. Sebab orang yang selalu menata diri dengan kekuatan hati nuraninya adalah mereka yang selalu berkomunikasi dengan dirinya sendiri ( halaman 3 buku Komunikasi Antarpribadi Pustaka Pelicha Februari 2013).

Karena itu, untuk memahami isi dan corak kata dalam satuan sintaksis buku antologi Alegori ini, kita dihadapkan pada pola-pola kalimat yang memunculkan nilai estatik dan frase yang melahirkan nilai religiustas.

Terkait bentuk dan isi dari himpunan sajak sebanyak 180 puisi ini sebenarnya mampu dijadikan penggambaran kreativitas, sikap hidup, dan pemahaman tentang nilai keyakinan religiusitas yang kuat dan mendalam.

Meski pemahaman terhadap nilai karya dan kekaryaannya, namun sebagai manusia tentu ada sisi kekurangan. Meski kekurangan itu terdapat hal yang tak berarti, namun hal-hal kecil akan berimbas kepada hal yang kompleks.

Dalam uraian puisi Revolusi di halaman 1, pada baris keempat terdapat kata serioza (rusak nada). Sesuai tataran di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), yang benar adalah seriosa. Sukses untuk Romy Sastra !

Palembang
16 Januari 2024