Empat gajah terlatih turun ke tengah banjir Pidie Jaya, saat mesin tak lagi mampu, belalai menjadi harapan. Narasi tentang alam, manusia, dan ironi yang kadang terlalu lucu untuk tidak ditertawakan.
BANJIR selalu datang dengan gaya seperti debt collector, tiba-tiba muncul, tidak peduli sedang apa kita, dan meninggalkan kekacauan berkepanjangan.
Begitu pula bencana yang melanda Kabupaten Pidie Jaya, Aceh. Sungai meluap, jalan terputus, rumah-rumah terendam, dan akses penting terhambat.
Dalam kondisi begini, biasanya alat berat jadi pahlawan. Tapi kali ini, sebagian dari mereka justru ikut menjadi korban, mogok, terjebak lumpur, atau tidak bisa mencapai lokasi karena akses tertutup.
Di sinilah ceritanya menjadi menarik, karena ketika mesin sudah “angkat tangan”, justru makhluk lain yang melangkah maju, yaitu empat ekor gajah terlatih, lengkap dengan tim mahout, dokter hewan, dan dukungan Polhut serta kepolisian.
Seperti pepatah baru yang lahir dari bencana ini “Ketika besi tak kuasa, alam kirimkan kaki raksasa”, dan betul saja, kaki-kaki besar itu datang, bukan untuk menginjak, melainkan untuk membantu.
Gajah memang bukan sekadar hewan besar yang sering kita lihat di film dokumenter, mereka adalah makhluk cerdas, sabar, dan kuat. Di beberapa negara Asia, gajah telah lama dipakai untuk pekerjaan berat, bukan karena dieksploitasi, tetapi karena mereka memang memiliki kemampuan alamiah untuk melakukan tugas tertentu yang mesin tidak bisa.
Balai KSDA Aceh tidak asal turunkan gajah begitu saja. Prosesnya seperti mempersiapkan pasukan elit, survei lokasi, cek akses, memastikan keamanan satwa, menentukan titik kerja dan titik istirahat, serta menghitung durasi kerja supaya tidak berlebihan. Gajah juga punya jam kerja, lho, mereka bukan tipe “kerja rodi sampai pingsan”.
Setiap gajah juga disiapkan tempat istirahat yang nyaman, lengkap dengan pakan, suplemen, dan air minum yang cukup. Sampai ada mobil slip-on berisi tangki air khusus standby semacam “Isi Ulang Aqua Galon untuk Gajah”. Bedanya, ini galonnya seukuran drum.
Yang menarik lagi, gajah itu tak berjalan kaki dari kamp ke lokasi, mereka dinaikkan ke truk langsir, serioooos!!, bahkan hewan sebesar itu pun masih perlu transportasi demi menghindari stres. Kita saja naik mobil AC kalau panas, masa gajah disuruh jalan kaki? Nggak level ya…
Banjir memang membuat banyak alat berat tidak bisa masuk. Jalan rusak, jembatan rusak, talud runtuh, semua menyulitkan mobilisasi. Tapi gajah? punya beda cerita, mereka bisa melewati daerah yang sulit, punya keseimbangan bagus, dan dapat mengangkat, mendorong, atau menarik material seperti batang pohon yang menghalangi akses.
Di titik-titik yang paling susah dijangkau manusia atau alat, gajah justru tampil seperti ‘superhero darurat’. Tanpa sayap, tanpa theme song heroik, tapi tetap memukau.
Hasilnya? tidak perlu diragukan lagi, akses terbuka, material besar bisa cepat disingkirkan, lokasinya bisa dijangkau, dan tentu saja yang paling pentin warga sangat terbantu.
Kadang kita lupa bahwa ketika teknologi modern mandek, ada kekuatan alam yang lebih tua, lebih stabil, dan, ternyata gajah lebih bisa diandalkan.
Namun dibalik itu, ada anehnya, gajah menolong manusia, bahkan ketika manusia sering merusak habitat gajah, mereka tetap ikhlas menolong jika dikerahkan.
Deforestasi, perambahan, konflik satwa, kebakaran hutan, semua masalah yang diciptakan manusia sering membuat gajah kehilangan ruang hidup. Tapi ketika manusia dalam kesulitan, gajah tetap datang membantu.
Sungguh hubungan yang kalau ini drama korea, ratingnya bisa 30%. Plot twist-nya bagus, yang disakiti justru menolong yang menyakiti.
Pepatah lama bilang “Air susu dibalas air tuba”, tapi gajah tampaknya punya versi lain, “Air sungai meluap dibalas dengan air belalai”.
Ujang Wisnu Barata, Kepala BKSDA Aceh, bahkan bilang dalam resmi dilaman kehutanan.go.id. “Ini bukti bahwa gajah bukan musuh manusia, jangan rusak habitatnya. Dalam situasi darurat, justru gajah yang akan melindungi manusia”.
Kalimat bikin merinding sekaligus bikin malu….
Oleh karena itu, operasi lapangan bukan sekadar soal gajah, ini kolaborasi besar terdiri dari, 8 mahout profesional, Polhut Resor, Dokter hewan lengkap dengan kotak medis, dukungan polisi dan Tim logistik.
Gajah mungkin bintangnya, tapi tim inilah yang membuat operasi berjalan rapi. Durasi kerja diatur, agar gajah tidak boleh capek. Area aman dijaga gajah tidak boleh stres.
Bahkan pakannya pun dijamin agar gajah juga tidak boleh lapar. Ini bukan kerahkan gajah’, tapi “libatkan gajah dengan etika dan cinta”
Headline besar
Sementara itu, warga yang menonton sering terharu tapi juga ngakak. Satu gajah pernah tiba-tiba berhenti kerja, lalu mandi lumpur sendiri.
Mahout bilang, “dia memang begitu kalau happy”
Begitulah, bahkan di tengah bencana, masih ada ruang untuk humor alami dari makhluk besar ini.
Jadi kalau kita mau merenung sejenak bahwa alam ini menyelamatkan kita hari ini dan tugas kita adalah menyelamatkannya kembali. Apalagi banjir iti tidak turun dari langit begitu saja.
Ada faktor kerusakan lingkungan, penggundulan hutan, tata ruang yang buruk, dan perilaku manusia yang seenaknya. Gajah hari ini membantu manusia, tapi pertanyaannya sampai kapan?
Kalau hutan terus digerus, populasi gajah terus menurun, dan habitat terus menyempit, jangan berharap ada gajah yang siap turun membantu di bencana berikutnya.
Saat itu terjadi, kita hanya bisa memanggil alat berat yang belum tentu bisa masuk, dan bencana pun jadi lebih pahit dari kopi tanpa gula.
Kata pepatah “Jangan cekik leher sungai, nanti dia mengamuk” atau “jangan usir gajah dari hutan, nanti saat banjir kamu kehilangan raksasa penolong”.
Oleh sebab itu, dalam setiap bencana, ada kisah yang tidak selalu masuk headline besar, tapi menyentuh hati, yaitu kisah gajah-gajah ini adalah salah satunya, sebab mereka tidak bicara, tapi bekerja.
Mereka juga tidak menuntut, tapi mengangkat beban manusia dan tidak berdebat, tapi membuka jalan.
Mereka mengingatkan kita bahwa kekuatan tidak selalu bersuara keras, kadang ia datang dari makhluk yang berjalan pelan, makan banyak, punya telinga lebar, dan hati yang lebih besar dari tubuhnya sendiri.
Hari ini mereka membantu kita.
Besok? belum tentu, karena satwa pun bisa punah, habitat bisa habis, hutan bisa tinggal nama.
Jadi sebelum kita mencari-cari gajah untuk menolong di bencana berikutnya, mari pastikan dulu bahwa rumah mereka aman. Agar ketika manusia kembali butuh, gajah masih ada dan masih mau melangkah untuk kita.
Karena dalam dunia yang makin rumit ini, siapa sangka bahwa penyelamat darurat bukan selalu mesin… tetapi seekor gajah yang berjalan pelan namun pasti.[***]

























