ADA pemandangan tidak biasa di Markas Manggala Agni Daops Sumatera XVII/OKI hari itu. Biasanya yang datang ke lahan gambut itu petugas, warga, atau rombongan yang penasaran kenapa tanah basah kok bisa terbakar. Tapi kali ini yang muncul justru tamu dari negeri jauh, Korea Forest Service. Jangan salah, kedatangannya bukan buat syuting video klip K-Pop atau bikin konten “Oppa di Gambut”, tapi karena kebakaran hutan Sumsel makin butuh strategi baru.
Begitu rombongan tiba, para personel Manggala Agni langsung sigap. Seragam rapi, sepatu kinclong, bahkan drone yang biasa terbang cari hotspot pun seperti diseka dulu pakai tisu biar kelihatan cakep.
Maklum, kedatangan orang Korea itu ibarat kedatangan besan waktu lamaran semua harus tampil mantap, jangan sampai kelihatan asal-asalan.
Kedatangan Cha Junhee, Direktur Global Forest Resources Division Korea Forest Service, bukan kunjungan basa-basi. Beliau datang untuk melihat progres pembangunan Center of Excellence (CoE) Manggala Agni, pusat unggulan yang akan jadi otak dan otot pengendalian kebakaran di wilayah gambut Sumatera Selatan.
Kalau CoE ini jadi, Manggala Agni bakal punya markas yang bukan main-main lebih lengkap dari markas Power Rangers dan lebih berguna daripada aplikasi cuaca yang sering PHP.
Di sini mulai menarik. Para tamu Korea itu meninjau fasilitas, melihat pelatihan, hingga menyimak bagaimana teknologi baru dipakai untuk membaca risiko kebakaran. Dari drone yang bisa memetakan area rawan, sampai sistem deteksi yang bisa kasih peringatan sebelum asap sempat numpang lewat.
“Upaya pencegahan itu seperti hubungan,” kata seorang petugas sambil bercanda. “Kalau dari awal dijaga, nggak bakal kebakar.”
Sementara itu, Israr Albar dari KLHK juga tampak sumringah. Beliau menjelaskan bagaimana proyek kerja sama Indonesia-Korea sejak 2023 ini berjalan mulus.
Bahkan, kalau diurut ke belakang, hubungan Indonesia-Korea di sektor kehutanan sudah kayak pasangan LDR yang langgeng bertahun-tahun tanpa putus. Dari pengembangan wisata edukasi di Sentul, pusat benih di Rumpin, restorasi gambut di Jambi-hubungan ini bisa disebut: tidak toxic, tidak ghosting, dan penuh masa depan.
Nah, kunjungan kali ini membawa pesan kuat kebakaran hutan Sumsel tak bisa ditangani pakai cara lama. Gambut itu seperti hati orang sensitif—sedikit salah perlakuan langsung panas. Sekali terbakar, padamnya butuh perjuangan. Makanya, teknologi jadi penyelamat baru.
Pelatihan drone tingkat lanjut yang sedang berlangsung saat itu makin memperjelas arah masa depan. “Kalau dulu orang pakai drone buat bikin video estetik di atas sawah, kita pakai buat nyari titik api,” ujar seorang instruktur.
“Lebih deg-degan dari nonton final Piala Dunia.”
Delegasi Korea tampak puas melihat keseriusan para petugas. Cha Junhee bahkan memberikan apresiasi tinggi, sambil bilang bahwa teknologi harus dipakai bukan cuma untuk memadamkan api, tapi juga mencegah dan memulihkan ekosistem gambut yang sudah lama jadi korban.
Karhutla itu ibarat masalah rumah tangga: kalau dibiarkan, membesar. Kalau ditangani dari awal, damai sentosa. Dan kerja sama Indonesia-Korea ini terlihat sudah paham betul soal itu. Mereka tidak ingin datang ketika api sudah telanjur menyala besar, tapi hadir sejak perencanaan, pelatihan, sampai pasca-pemulihan.
Mereka tidak pakai kamera mahal, tidak pakai filter glowing, tapi pakai tekad yang kadang lebih besar dari ukuran sepatu. Di saat banyak orang memilih ngopi di cafe sambil menikmati AC, para petugas ini memilih menantang panas dan asap. Bahkan sering kali mereka tahu, kerja keras mereka jarang masuk berita, kecuali kebakaran sudah membesar.
Seorang petugas sambil ngelap keringat bilang ke saya, “Bang, kalau ada api kecil, kami senang. Kalau nggak ada api sama sekali, kami lebih senang lagi.”
Itulah filosofi sederhana tapi dalam.
Kunjungan orang-orang Korea ini mengingatkan kita bahwa menjaga bumi tidak bisa dilakukan sendirian. Teknologi penting, kerja sama penting, tapi yang paling penting adalah kemauan manusia untuk nggak bikin masalah baru. Sebab hutan itu bukan cuma kumpulan pohon; di sana ada udara yang kita hirup, air yang kita minum, dan masa depan yang belum tentu bisa dibeli.
Kebakaran hutan Sumsel bukan sekadar berita musiman. Ia adalah alarm yang mengingatkan bahwa alam bisa marah kalau terus disepelekan. Dan kunjungan ini meski penuh candaan ringan dan tawa sebenarnya punya pesan serius: kita harus berubah.
Menjaga lingkungan itu bukan tugas superhero. Itu tugas kita semua, dari anak kecil sampai pejabat. Karena api kecil saja, kalau didiamkan, bisa jadi bencana besar.
Kolaborasi Indonesia-Korea bukan sekadar tanda tangan proyek. Ini langkah nyata untuk mencegah bencana, memulihkan gambut, dan membuat Sumatera Selatan bernapas lebih lega.
“Bila api kecil segera disiram, hutan tetap aman, bila masalah kecil segera diselesaikan, hidup ikut tenteram”. Semoga Sumsel tambah adem, dan yang panas hanya sambal di dapur bukan hutan kita.[***]

























