Hukrim

“Hutan Jadi Tempat Sampah? Warga Tani Jadi Polisi Dadakan!”

×

“Hutan Jadi Tempat Sampah? Warga Tani Jadi Polisi Dadakan!”

Sebarkan artikel ini
foto : Kehutanan.go.id

SIAPA sangka, menjaga hutan bisa bikin warga tani berubah jadi detektif ala film aksi komedi? Di Pasir Ipis, Kabupaten Karawang, hutan sosial seluas 5,2 hektare tiba-tiba jadi “TPS raksasa” karena aktivitas pembuangan sampah ilegal.

Kalau hutan ini manusia, pasti sudah guling-guling kesal sambil ngomel, “Eh, jangan dijadikan tempat sampah dong, aku kan perhutanan sosial, bukan tong sampah raksasa!”.

Kelompok Tani Mandiri Telukjambe Bersatu curiga. Mereka mengendus aroma sampah yang tidak pada tempatnya, bayangkan seperti mencium aroma durian busuk di tengah pasar.

Warga pun tak tinggal diam. Layaknya detektif desa yang memegang kaca pembesar sambil menengok ke semak-semak, mereka mulai memantau aktivitas mencurigakan, mendokumentasikan, lalu melapor ke Ditjen Penegakan Hukum Kehutanan (Gakkumhut).

Nah, di sinilah drama dimulai. Tim SPORC Brigade Elang bersama penyidik Gakkum turun ke lokasi. Layaknya superhero di film laga komedi, mereka datang lengkap dengan segel resmi, dokumen, kamera, dan tentu saja tatapan serius ala polisi yang tidak boleh salah langkah. Di lokasi, mereka menemukan pelaku utama, KM (53), yang ternyata mengatur pembuangan sampah dengan pekerjanya. Bisa dibilang, dia ini seperti “bos TPS ilegal” versi hutan sosial.

Tentu saja, hukum tidak pandang bulu. KM langsung dijerat Pasal 78 ayat (3) jo. Pasal 50 ayat (2) UU Kehutanan, dengan ancaman penjara 10 tahun dan denda Rp7,5 miliar. Bayangkan, kalau dihitung-hitung, biaya TPS ilegal ini lebih mahal daripada membangun warung kopi viral di tengah kota iya, bro, jangan coba-coba.

Kepala Balai Gakkum Kehutanan Wilayah Jabalnusra, Aswin Bangun, menegaskan “Hutan sosial itu bukan tempat sampah. Siapa pun yang menyalahgunakan, akan kami tertibkan”. Sementara itu, pekerja kecil yang ikut membantu diposisikan sebagai saksi, agar pola dan peran pelaku utama jelas. Seperti pepatah kocak bilang, “Buruk muka cermin dibelah, buruk hati siapa yang tahu?”. Nah, ini bener-bener pas untuk kasus ini.

Kalau kita tarik pelajaran, ada beberapa poin penting yaitu masyarakat adalah pahlawan hutan. Jangan remehkan warga lokal, karena mereka lah yang pertama mencium “aroma durian busuk” alias penyimpangan di hutan sosial. Jika warga diam, hutan bisa jadi TPS raksasa tanpa pengawas.

Hukum tegas

Hukum harus tegas tapi adil, aparat menindak pengendali kegiatan ilegal, tapi pekerja kecil yang ikut hanyalah saksi. Pesan moralnya jelas, negara hadir untuk menegakkan hukum, bukan membalas dendam.

Hutan sosial itu tanggung jawab bersama, perhutanan sosial bukan sekadar nama keren di dokumen. Ini adalah sumber hidup masyarakat, bukan tempat membuang sampah seenaknya. Jika disalahgunakan, bukan cuma hukum yang kena, tapi juga ekosistem dan masyarakat sekitar.

Bayangkan jika hutan ini bisa menulis status di WA “Tolong dong, jangan jadikan aku tempat sampah. Aku kan lagi diet plastik!”. Kocak kan, tapi inilah realitanya.

Aktivitas ilegal di hutan sosial sering terlihat sepele, tapi dampaknya bisa luas, dari pencemaran lingkungan hingga rusaknya program pemberdayaan masyarakat.

Jadi, dari kasus Karawang,  penguatan perhutanan sosial harus selalu berjalan bersamaan dengan penegakan hukum. Jika salah satu kendor, hutan bisa disalahgunakan.

Program sosial gagal, dan masyarakat yang patuh jadi merasa dirugikan. Intinya, hutan sosial itu seperti ladang padi, kalau dirawat, hasilnya berlimpah, kalau diabaikan, rumput liar yang menang.

Kasus ini mengingatkan kita semua, warga lokal harus terus aktif, aparat hukum harus konsisten, dan masyarakat luas perlu peduli. Jangan sampai hutan sosial berubah jadi “TPS raksasa” karena ketidakpedulian. Kata pepatah “Sedia payung sebelum hujan, sedia polisi sebelum sampah beranak”,

Oleh karena itu, jika kalian kebetulan melihat hutan jadi tempat sampah, jangan cuma foto buat status WA atau TikTok. Laporkan! Siapa tahu kalian bisa jadi detektif hutan dadakan, seperti warga Telukjambe.

Dengan begitu, hutan tetap hijau, masyarakat sejahtera, dan kita semua bisa tertawa sambil menepuk punggung hutan karena selamat dari “TPS raksasa”.[***]