Scroll untuk baca artikel
Sastra

Sastra dan Karya Kehidupan

×

Sastra dan Karya Kehidupan

Sebarkan artikel ini

Oleh Anto Narasoma

 

DUNIA SASTRA, tak hanya mengungkap nilai-nilai estetika ketika satu karya (puisi, cerita pendek, novel) dinikmati dan didalami pembacanya.

Meski banyak cabang seni lainnya mengiliustrasi keindahan (estitik), namun pokok sasarannya hanya seni pada fokus yang diabadikan.

Saya tidak mengatakan sastra itu lebih hebat dari cabang seni lainnya, namun kelengkapan masalah yang ditampilkan (format isi karya) mencakup nilai-nilai perilaku di dalam  kehidupan.

Hakikatnya seni itu merupakan ruang besar yang memotret semua gejala alam, lingkungan,  Tuhan, tradisi dan adat istiadat manusia.

Dalam sastra, kita mengenal ilmu ucap. Baik diucap lewat kata (bicara), tulisan, gerak-gerak pembaca puisi atau cerita pendek di panggung pementasan.

Jika masuk ke ruang ide dan gagasan seorang penulis (penyair, cerpenis, novelis) ketika ia menangkap situasi yang menarik perasaannya,  ia mampu melukiskan suasana di dalam pikirannya.

Misalnya, seorang sastrawan menangkap ide penceritaannya tentang seorang gadis yang sedangkan jatuh cinta, yang pertama ia ceritakan adalah perasaan sang gadis, usianya berapa, apa aktivitasnya, berapa besar nilai kecantikannya,  apakah ia masih sekolah, kuliah, atau  posisinya di rumah sebagai apa (status dirinya).

Selain itu, sastrawan juga akan mengungkap situasi lingkungan, bentuk pria yang dicintai si gadis, serta kebiasaannya sehari-hari. Semua itu dikukiskan dalam penceritaan yang menarik.

Seperti dikatakan novelis Motinggo Busye, kekayaan yang paling hebat bagi novelis, mampu menggelar suasana tulisannya secara lengkap dan rinci (Harian Indonesia Raya edisi September 1973).

Memang, kekayaan dunia sastra  ketika merangkum satu masalah yang akan dipotretnya menjadi karya, diungkap secara kompleks dan rinci.

Karena sastra merupakan bagian dari kebudayaan, tentu gerak lenggok masalah yang diungkap begitu kaya dan komplet. Sebab karya tulisan seorang  sastrawan itu lahir dari perasaan, pengalaman, pikiran, ide  dan gagasan.

Tak heran apabila Mochtar Lubis begitu konsens menggali nilai-nilai kreativitas seorang novelis seperti  Motinggo Busye. Sebab selain sangat kreatif, masalah yang tuturkan Motinggo begitu kaya dan ungkapan yang sangat rinci.

Kentara sekali bahwa penguasaan budaya kemasyarakatan  Motinggo Busye begitu tinggi dan apik. Itu dapat kita pahami dari nilai-nilai tuturan bahasanya yang sangat baik.

Seperti diungkap B Simorangkir-Simandjuntak dalam buku  Kesusasteraan Indonesia terbitan Jajasan Pembangunan Djakarta 1953, …Kesusasteraan itu adalah sebagian atau tjabang dari kebudajaan. Sebab nenek mojang kita dahulu-kala memang berkebudajaan tinggi jang tak kalah kepada kebudajaan bangsa-bangsa lainnja….)

Dari dasar kekayaan jiwa (budaya : adat istiadat) itulah dapat kita lihat bagaimana kekayaan ide dan rumusan cerita yang diungkap novelis sekelas Motinggo Busye.

Seperti diungkap Dt JJ de Holander, adat istiadat dan tradisi masjarakat akan mempengaroehi setiap hasil kerdjanja (…Maleise Taal en Letterkunde 1947).

Coba kita perhatikan puisi “Aku” karya Chairil Anwar…kalau sampai waktuku/’Ku mau tak seorang  kan merayu/ tak juga kau…..

Begitu dalamnya ungkapan Chairil menyatakan gagasan daya ciptanya. Dari puisi “Aku” ini dapat kita bongkar persoalan pribadi yang mempunyai sikap keras kepala.

Yang jadi pertanyaan kita,  apakah latar belakang tradisi masyrakat yang mewarnai kehidupan Chairil itu memang tegas, itu dapat kita terjemahkan sendiri.

Sebab selain memiliki tradisi dan adat istiadat yang kaya dan kokoh, masyarakat Indonesia memberikan ruang gerak untuk mencerdaskan watak, perilaku, pikiran dan perasaannya.

Jika membicarakan manusia, selain memiliki watak pribadi yang kompleks, manusia juga hidup dalam satu lingkungan alam (tradisi masyarakat,  keyakinan serta suasana sekitarnya).

Karena itu ketika ia menumpahkan ide dan gagasan ke dalam satu karya (sastra), akan terbaca sejumlah wawasan tentang tradisi kehidupannya.

Seperti dijelaskan HB Jassin dalam buku “Kususteraan Indonesia dimasa Djepang” kaitan akhlak, pikiran dan perkembangan lingkungan manusia itu akan terbawa ke dalam corak karyanya. (*)

Palembang

18 September 2022